Aku masih memandangi Rumah Kelahiran Bung Hatta itu dari trotoar Jalan Soekarno Hatta, Bukan tak rela meninggalkannya, tetapi aku terus berfikir bagaimana sebuah tim kerja membangun replika rumah itu dengan persisnya karena rumah aslinya sudahlah runtuh pada 1962 silam.
Melangkah kembali menuju arah semula datang, aku berbelok ke Jalan Pemuda setelah melewati Banto Trade Centre. Kaki ini masih kuat ketika dihadapkan pada jalan yang panjang meliuk, rela ku menyusurinya karena mata dimanjakan dengan bentangan sawah nan hijau dan arsitektur khas atap gonjong yang menghiasi bangunan-bangunan resmi milik pemerintah.



Sepertinya perjalananku akan memutar dan semakin mendaki, kakiku sudah tak sanggup lagi setelah lima hari sebelumnya selalu mengandalkannya untuk bereksplorasi di tanah Sumatera.
Sudah saatnya memanggil transportasi online untuk mencapai gerbang depan Fort De Kock. Tak sampai lima menit menunggangnya, aku menanjaki Bukit Jirek dan tiba di gerbang depan benteng.
“Wekom in Fort De Kock”…..

Melewati gerbang, rumah makan Family Benteng Indah adalah penyambut pertama, lalu diteruskan oleh konter penjualan tiket. Walau aku mengunjungi Fort de Kock, namun wisata yang tertulis di dalam tiket adalah Taman Marga Satwa dan Budaya Kinantan dengan harga tertera Rp. 15.000.

Setelah melewati titik pemeriksaan tiket, kios pedagang makanan berderet di sisi kanan. Lalu sebuah kandang merpati endemik China jenis Junai Mas diletakkan di ujungnya. Setelahnya, aku baru bisa melihat bentuk asli benteng itu.

Benteng Fort De Kock didirikan oleh Kapten Bauer sebagai kubah pertahanan Pemerintah Hindia Belanda dalam menghadapi perlawanan rakyat dalam Perang Padri yang dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol. Perang ini sendiri meletus di seperempat pertama Abad ke-19. Ketika itu Boan Hendrick Markus de Kock menjadi komandan Der Troepen sekaligus Wakil Gubernur Jenderal Pemerintah Hindia Belanda. Dari sinilah nama “Fort de Kock” berasal.

Bangunan utama benteng yang tak lebih dari 400 meter persegi ini terlihat kecil tapi sangat kuat secara fisik dan strategi. Secara bentuk fisik, banteng ini memiliki ketebalan dinding yang bagus dan secara strategis, benteng ini tangguh karena terletak tepat di puncak bukit, memudahkan siapapun mengamati gerak-gerik musuh di sekitar.


Aku mencoba terus membayangkan bagaimana hebatnya sepak terjang Tuanku Imam Bonjol dalam memimpin kaum Padri melawan Kolonialisme Belanda. Hingga Belanda harus membangun benteng ini untuk mengamankan kekuasaannya dari rongrongan pemimpin karismatik itu.
