Aroma Jahe pada Semangkuk Tahok

Aku telah selesai menjelajah Keraton Surakarta Hadiningrat berserta alun-alunnya, Pasar Klewer dan Masjid Agung Keraton Surakarta. Aku mulai menyusuri pangkal selatan Jalan Jend. Sudirman menuju utara. Inilah area pemerintahan Kota Solo, aku merasa berkesan ketika melewati Balaikota Surakarta yang teramat megah dengan atap Joglonya.

Surakarta City Hall.

Trotoar di depan balaikota tampak dibuat lebih luas tanpa pagar, maklum karena kantor tempat walikota bekerja ini juga berperan sebagai rumah rakyat yang siap menerima keluh kesahnya. Balaikota masih hening pagi itu, waktu belum juga menyentuh pukul sembilan.

Tiba di sebuah pertigaan, penampakan klasik Tugu Jam Pasar Gede sungguh memesona mata. Tugu yang tak tinggi tapi juga tak rendah itu masih menunjukkan taji Kolonialisme Belanda. Inilah area Sudiroprajan dengan ikon utamanya Pasar Gede Hardjonagoro.

Pasar Gede Hardjonagoro.

Aku mulai menuju Pasar Gede Hardjonagoro. Tujuanku cuma satu….TAHOK.

Aku bahkan belum tahu rupa kuliner tradisional Kota Solo itu, bahkan lokasi dan bentuk kedainya pun aku tak pernah membayangkan rupanya. Langkahku semakin dekat dengan bangunan pasar yang tampak hening jika ditengok dari gerbang depannya.

Tetapi aku masih di seberang jalan ketika memperhatikan ada antrian panjang yang berpangkal pada sebuah gerobak dorong. Aku masih tak menahu , apa yang diniagakan di gerobak itu. Setelah mendekat dan membaca spanduk kecil yang menggantung di atap gerobak, aku baru tahu, ternyata kuliner yang kucari sedari tadi ada di depan mata. Inilah Tahok Pak Citro.

Aku: “Pak, ini bahannya apa aja ya?”

Pak Citro: “Ini dibuat dari kembang tahu dan air jahe, Mas”.

Aku: : “Rahadian, kamu mau coba ngga?. Kalau aku sih mau coba”, aku menawarkan kepada Rahadian yang tampak ragu sedari tadi.

Rahadian: “Engga, Pak. Saya ga begitu suka sama jahe. Pak Donny aja yang makan, saya tunggu saja”.

Aku: “Ah, kamu ini gimana, Rahadian. Jauh-jauh ke Solo kok ga nyobain kulinernya. Aneh”, Rahadian hanya tersenyum dan mengambil bangku di pojok trotoar.

Aku mulai mengantri, beberapa pembeli lebih memilih pesanannya dibungkus dan dibawa pulang. Menunjukkan bahwa mereka pelanggan setia kuliner ini. Tak lama mengantri, giliranku untuk mendapatkan samangkuk Tahok. Pak Citro tampak mulai menyentong tipis-tipis kembang tahu itu dan memasukkan ke mangkuk berkali-kali hingga penuh, kemudian menyiramkan air jahe hingga menenggelamkan seluruh kembang tahu itu.

Gerobak Tahok.
Tahok.

Inilah kuliner khas Kota Solo kelima yang kunikmati setelah Es Dawet Telasih, Jenang Suro, Soto Kwali dan Wedang Ronde yang kusantap sehari lalu. Paduan tekstur halus dan kehangatan jahe menjadikan kuliner ini sangat tepat di santap saat pagi hari yang masih meniupkan sisa-sisa angin dingin semalam.

Aku menyudahi pengalaman kuliner ini dengan menyerahkan uang Rp. 7.000 dan mulai meninggalkan gerobak itu. Kini aku menuju ke sisi dalam Pasar Gede Hardjonagoro untuk kedua kalinya semenjak kemarin. Aku masih penasaran dengan Es Dawet Telasih Bu Dermi yang sehari lalu tak kutemukan karena belum buka. Aku memang sempat menyantap Es Dawet Telasih Hj. Sipon sebagi penggantinya.

Tetapi rasa penasaranku masih terbayar dengan tidak keberuntungan. Kedai yang kucari belum juga buka, bahkan pasar masih tampak lengang dan belum banyak pedagang yang hadir. Keinginanku kembali tertunda.

Suasana di dalam Pasar Gede Hardjonagoro.

Nantinya aku akan merasakan Es Dawet Telasih Bu Dermi ini dua bulan sejak kadatanganku hari itu.

Menikmati Malam di Sungai Kapuas

<—-Kisah Sebelumnya

Menikmati Malam di Kapuas

Usai menaruh backpack dan mencuci muka, aku memutuskan untuk turun ke lantai 1 demi memulai eksplorasi pertamaku di Pontianak.

Keluar dari G-Hotel, aku turun di Jalan Jendral Urip menuju ke timur. Sembari melangkah, aku terus memperhatikan sepanjang sisi jalan. Aku berusaha menandai beberapa rumah makan yang bisa menjadi alternatif bagiku untuk memenuhi kebutuhan konsumsi selama tinggal di Pontianak.

Terdapat dua rumah makan yang kutandai, yaitu UP2U dan Richeese Factory, sedangkan untuk kebutuhan ngopi aku menandai kedai Kopi S’Kampoeng dan Kopi Asenk.

Tiba di ujung Jalan Jendral Urip, aku dihadapkan pada Matahari Department Store yang menjadi markah utama jalan tersebut.

Aku terus melanjutkan langkah dengan menembus Jalan Jenderal Sudirman yang di ujung timur, arusnya akan dipotong oleh Jalan Rahadi Usman. Di jalan yang terakhir kusebut itulah terletak Taman Alun Kapuas yang menjadi sudut pandang terbaik untuk menikmati senja di Sungai Kapuas.

Jalan Rahadi Usman tergolong lebar, memiliki empat jalur dan dua arah, bertengara tugu Adipura di tengahnya. Menyeberang dengan sangat hati-hati di tengah laju kendaraan yang cukup kencang aku berhasil mencapai sisi timur jalan itu. Kini aku sudah berada di gerbang depan Taman Alun Kapuas yang sore itu tampak bergeliat. Para pengunjung perlahan tapi pasti mulai berdatangan memenuhi taman itu. Mungkin cuaca yang sedari siang tadi cukup cerah yang membuatnya demikian. Langit di atas Sungai Kapuas sangat bersih dari awan.

Waktu yang sebentar lagi membawa gelap, membuatku memutuskan untuk langsung menuju ke tepian Sungai Kapuas, dengan berat hati aku mengindahkan deretan bangku taman yang menggoda siapa saja untuk mendudukinya.

Tepian Sungai Kapuas, berbatasan langsung dengan Taman Alun Kapuas.
Sungai Kapuas yang mulasi sibuk di malam hari dengan aktivitas wisata.

Aku menghela nafas panjang berlanjut dengan merentangkan tangan lebar-lebar ketika tiba di tepian sungai.

“Subhanallah….Inikah Sungai Kapuas yang sedari kecil hanya bisa kubayangkan dari buku pelajaran sekolah?….Hmmhhh, salahmu sendiri, Donny. Kenapa terlalu lama menjelajah ke luar negeri, padahal keindahan Nusantara tak ada satupun yang meragukan”, aku bergumam dalam hati dan menyalahkan diri sendiri.

Menikmati keperkasaan Kapuas dari sudut yang lebih tinggi tentu akan menakjubkan. Dan aku melihat keberadaan Jembatan Alun Kapuas di sisi kanan. Tanpa fikir panjang aku mulai menaiki anak-anak tangga demi mencapai titik teratas.

Tak berapa lama aku tiba di titik yang kumaksud….

Yang membuat pandanganku terkesima selain lebarnya Sungai Kapuas adalah tingginya aktivitas yang terjadi di bawah jembatan. Hiruk pikuk Pelabuhan Bardan yang sedang mengalirkan penumpang dan kendaraan menuju lambung kapal “Jembatan Kapuas” benar-benar mencuri segenap perhatianku. Dari ukuran kapal yang tak begitu besar maka cukup meyakinkanku bahwa ferry itu hanya melayani penyeberangan lokal di Sungai Kapuas. Tetapi walaupun begitu, aku juga baru tahu bahwa Pelabuhan Bardan juga melayani pelayaran menuju Tanjung Priok, Surabaya dan Semarang. Bisa dibayangkan seberapa lebar dan dalam Sungai Kapuas ini sehingga bisa dilewati oleh kapal-kapal besar.

Cahaya senja telah usai ketika beberapa saat lamanya aku beraktivitas di atas jembatan. Kini langit Kapuas berubah gelap. Oleh karenanya aku memutuskan untuk turun. Saatnya untuk menikmati wisata jenis lain di Kapuas.

Kembali berada di sisi sungai, aku melangkah menuju sebuah kapal wisata yang bersandar di tepian sungai di dekat replika tugu khatulistiwa. Karyawan kapal tampak antusias menyapa segenap pengunjung yang datang mendekat untuk mau menaiki kapal dan berlayar bersamanya beberapa saat lagi.

Tanpa ragu aku memasuki geladak kapal. Karena geladak atas sangat penuh maka mau tak mau aku harus duduk di meja makan geladak bawah. Kupesan secangkir coklat panas demi melawan terpaan angin Kapuas yang semakin mendingin.

Waktu terus berjalan dan tampak hampir seluruh meja makan terisi penumpang. Mesin kapal mulai dinyalakan, tali pengikat mulai dilepaskan dari bolder-bolder darmaga dan kapal pun mulai berlayar menuju ke timur.

Dengan kecepatan konstan, dua nahkoda tampak fokus dibalik kemudi untuk mengarahkan kapal tetap pada jalurnya. Kapal sempat keteteran  ketika berusaha mendahului kapal sejenis yang mengalami mati lampu. Beruntung kapal tersebut bisa segera membenahi diri dan berhasil menyalakan lampu geladaknya sehingga kapal yang kunaiki bisa mendahului dengan aman.

Sementara jauh di depan tampak Jembatan Landak yang mempesona, memanjang dengan cahaya lampu di jalurnya. Melewati bagian bawah jembatan memperlihatkan pemandangan yang sangat indah dan menawan

Naik kapal keliling Kapuas….Yuhuuu…..
Geladak atas kapal.
Pesona Masjid Jami’ Sulthan Syarif Abdurrahman
Jembatan Landak.

Berlayar hingga Pulau Jajagi yang berjarak lima kilometer dari Pangkalan Bardan maka kapal merubah haluan untuk kembali ke titik awal. Pelayaran selama setengah jam itu memberikan kesan yang mendalam atas keindahan Sungai Kapuas di saat malam. Tak mahal untuk bisa mengikuti pelayaran ini, hanya perlu merogoh kocek sebesar Rp. 15.000. Seorang petugas kapal akan menarik ongkos itu ketika kapal sudah berlayar di tengah Sungai Kapuas.

“Bang, kedalaman sungainya berapa meter ya?”, tanyaku singkat kepada sang nahkoda.

“Dua puluh meter, Bang”, jawab sang nahkoda singkat.

“Hmmhhhh….Sungai yang sangat mengagumkan”, aku membatin sembari pergi meninggalkan kapal itu.

Kisah Selanjutnya—->

Spot Menarik di The Azana Hotel Airport

<—-Kisah Sebelumnya

Hampir Isya’…..

Aku memasuki gerbang The Azana Hotel Airport yang berlokasi di tepian Jalan Jenderal Sudirman tepat di bawah jembatan layang Kalibanteng. Hotel yang tiga hari sebelumnya dianggarkan oleh kantor tempatku bekerja seharga Rp. 445.000/malam.

The Azana Hotel Airport.

Yang kutahu, rekan kerjaku, Pak Muchlis yang berasal dari Gresik sudah membuka kamar itu sejak siang. Dia memang mendahuluiku, karena lebih dahulu berangkat menggunakan Argo Bromo Anggrek dari Surabaya pagi tadi. Bahkan dialah yang menyelesaikan semua jenis rehearsal untuk pelatihan dua hari ke depan. Memudahkanku, karena aku cukup menerima konsep matangnya saja setiba di Semarang….Terimakasih Pak Muchlis.

Reception desk.
Mini bar di lobby.

Aku mendapat info bahwa pesanan kamar atas nama kantor bernomor 523, jadi kuputuskan untuk naik langsung ke atas saja untuk segera jeda dan membersihkan diri, aku merasa sangat kusut setelah setengah hari terpapar debu jalanan ibu kota.

Aku memiliki rencana untuk berburu seafood bersama Pak Muchlis setelah mandi, biasa memang, kalau ada tugas kantor begini aku selalu memanfaatkannya untuk perbaikan gizi….Foya-foya….Hahahaha. Tapi aku belum tahu kemana tujuannya, nanti sajalah aku berembug dengannya.

Koridor kamar.
Guest room.
Bathroom.

Senang juga bertemu kawan satu perusahaan yang berasal dari cabang berbeda. Aku bekerja di kantor pusat dan Pak Muchlis di cabang Surabaya. Biasa kita bertemu setahun sekali saja saat Year End Party, momen dimana penghargaan diberikan kepada beberapa karyawan berprestasi.

Malam itu, kami memutuskan berangkat ke Kampung Laut di daerah Tawangsari. Selama satu setengah jam, kami menikmati sajian kuliner laut di atas danau. Nikmat rasanya, duduk bersantai, menikmati jus buah, menyantap sea food sambil diiringi band lokal di tengah siraman lampu-lampu syahdu. Melepaskan lelah setelah melakukan perjalanan jauh.

Setelah puas dan kenyang, sekitar pukul 21:30, kami meninggalkan Restoran Kampung Laut, menaiki taksi online berjenis Wuling Confero, kami menuju kembali ke hotel.

Dan bukan seorang Donny rasanya jika berhenti melakukan eksplorasi….Sesampai di hotel, aku tak langsung menuju kamar untuk beristirahat. Menurut informasi dari staff resepsionis, di lantai tujuh atau lantai teratas, aku bisa menikmati keindahan kota Semarang dari ketinggian. Segeralah aku menuju ke Sky Lounge itu. Berikut gambar-gambar terbaik yang kudapatkan:

Sky Lounge. Kamu bisa pesan kopi panas lho disini….Keren kan?.
Jalan Layang Kalibanteng kaya warna.
Pemandangan ke arah pantai dan bandara.

Tak sampai disitu, aku juga keluar menuju jalanan di depan hotel. Meriahnya warna-warni cahaya di Jalan Bunderan Kalibanteng ternyata menarik beberapa muda mudi untuk menghabiskan malam di bundaran. Sementara di pertemuan Jalan Yos Sudarso dan Jalan Jenderal Sudirman, terdapat patung Ir. Soekarno yang sedang membaca naskah proklamasi.

Adalah patung Ir. Soekarno yang ketiga di Kota Atlas.

Nah di hari kedua di Semarang, aku kembali naik ke atas untuk mendapatkan sesuatu, ini dia:

Coba tebak!….fajar atau senja?

Oh ya, secara harfiah, Azana memiliki arti “Yang Termewah”. Mungkin itu mencerminkan visi dari hotel ini. Lalu secara umum, The Azana Hotel Airport menyediakan ruangan kamar di lantai tiga, lima dan enam. Sedangkan restoran dan meeting room ditempatkan di lantai dua. Tempat karaoke dan lobby berada di lantai Ground. Barulah kolam renang diletakkan di lantai Basement.

Yuk makan pagi di restoran hotel. Setelahnya mari bekerja dan lanjut melakukan eksplorasi Kota Semarang di sore hari!

Kisah Selanjutnya—->

Kisah Heroik dibalik RTH Putri Kaca Mayang

<—-Kisah Sebelumnya

Tugu Bambu Runcing.

Bundaran di tenggara Masjid Agung An-Nur itu berhiaskan tugu bambu runcing berwarna kuning berlatar Universitas Riau tepat sejejar dibelakangnya. Aku terus mengarahkan Canon EOS M10 ku ke arah tugu hingga pengemudi ojek online datang memanggilku.

Sepertinya aku akan menghabiskan sore itu bersama warga lokal untuk menimati suasana kota di sebuah Ruang Terbuka Hijau (RTH) di tepian jalan protokol. Dari Masjid Agung An-Nur aku menuju selatan sejauh 4 kilometer dengan waktu tempuh 15 menit berkendara.

Jam empat kurang sepuluh menit aku tiba. Puluhan orang telah hanyut dalam suasana taman yang tenang walaupun raungan knalpot kendaraan menghiasi warna suara di sekelilingnya.

Taman dengan background The Premiere Hotel.

Unik, taman ini di belah oleh sebuah jalan pintas yang menghubungkan Jalan Jenderal Sudirman di timur taman dan Jalan Sumatera baratnya. Disematkan nama Jalan RTH Kaca Mayang, jalan ini membelah pendek sepanjang seratus meter saja.

Tempat duduk beton berkaki tiga, tempat sampah modern tiga kategori, Kanopi beton berbentuk jamur dengan atap hijau, sepasang area bermain pasir berwahana up-down stairs yang mengapit sebidang area peruntukan teater, pohon-pohon berdiameter kecil sebagai pertanda belum lama tertanam, jogging track dengan pola bersambung dari dua belahan taman serta dua jembatan kecil diatas aliran air yang cukup bersih adalah jenis fasilitas yang didudukkan pada taman seluas kurang lebih satu hektar ini. Itulah gambaran singkat RTH Putri Kaca Mayang yang bisa kutangkap.

Putri Kacang Mayang adalah satu dari delapan Ruang Terbuka Hijau di Pekanbaru yang dikenal sebagai taman paling ramah anak. Pemerintah daerah harus menggelontorkan dana sebesar enam milyar rupiah untuk membangun taman ini.

Penamaan taman sendiri diambil dari sebuah dongeng lokal yang dipercaya sebagai asal muasal Kota Pekanbaru. Putri Kaca Mayang konon digambarkan sebagai seorang putri nan cantik jelita yang dikemudian hari diculik oleh seorang raja Atjeh yang sakit hati karena pinangannya tertolak.

Panglima Gimpam yang merupakan tokoh terkuat di Kerajaan Gisab merasa harga dirinya diinjak-injak dengan peristiwa penculikan itu, karena Raja Atjeh dengan bantuan seorang penghianat berhasil mengelabuhi Sang Panglima yang telah bersiap menunggu pertempuran di batas kota, sedangkan musuh berhasil memasuki kerajaan melalui jalan lain yang sangat rahasia.

Tanpa pikir panjang, dikejarlah Raja Atjeh ini sendirian. Dengan kesaktiannya, Panglima Gimpam memporak porandakan seisi kerajaan musuh sendirian dan akhirnya dikembalikanlah Sang Putri kepadanya. Namun sayang, Sang Putri tak selamat pulang ke Kerajaan Gisab karena jatuh sakit di tengah perjalanan.

Itulah sepenggal kisah dari penamaan RTH Putri Kaca Mayang. Ternyata ada cerita klasik dibalik keindahan taman kota ini.

Kisah Selanjutnya—->

7 Destinasi Wisata Pekanbaru

<—-Kisah Sebelumnya

Memasuki Pekanbaru, semua penumpang Bus INTRA diturunkan di sebuah bangunan warung non-permanen berbahan kayu warna hijau. Memasuki bagian belakang warung makan, deretan panjang kamar mandi sederhana memudahkanku untuk berbasuh muka dan besiap diri untuk mengeksplorasi “Kota Madani”.

Memasuki jalanan kota untuk pertama kalinya diatas jok ojek online, aku mulai menyimpan rasa penasaran tentang apa saja yang bisa kukunjungi di kota. Hingga akhirnya aku tiba di lobby Hotel Sri Indrayani lebih cepat dari jadwal check-in. Setelah mengisi daya kamera dan smartphone hingga beberapa cell bar di restoran hotel, aku segera mengayun langkah ke beberapa spot terdekat.

  1. RTH Tunjuk Ajar Integritas

Tak jauh, setengah kilometer di barat laut hotel ada sebuah taman yang cukup terkenal di Pekanbaru. Adalah Ruang Terbuka Hijau Tunjuk Ajar Integritas yang menjadi play ground favorit bagi warga kota yang pembangunannya didedikasikan untuk program perlawanan korupsi dalam pemerintahan daerah.

Tugu Integritas dalam taman.

Belum juga tengah hari, udara panas mulai terasa. Memaksaku untuk berteduh di tepian taman. Masih sepi pengunjung, mengingat aku tak berkunjung saat weekend.

2. Sungai Siak

Melanjutkan langkah, aku turun ke Jalan Wakaf sebelum akhirnya dituntun oleh seorang polantas untuk berbelok ke kanan melewati Jalan Jembatan Siak I dan mencapai tepian Sungai Siak.

Mengunjungi Sungai Siak dan membayangkan kejayaan serta kemakmuran Kesultanan Siak Sri Indrapura yang pernah berdiri di tepian sungai adalah hal yang menarik minatku untuk menjadikannya sebagai salah satu destinasi kali ini

Panorama dari Jembatan Siak I

3. Rumah Singgah Tuan Kadi

Masih berkelana di sepanjang sungai, kini aku menuju ke Jembatan Siak II. Khalayak menyebutnya sebagai Jembatan Sultan Muhammad Ali Abdul Jalil Muazzam Syah, diambil dari nama Sultan ke-5 Kesultanan Siak.

Tertegun memandangi bangunan di bawah jembatan, rumah asli sejak era keemasan Kesultanan Siak.  Situs pariwisata ini dikenal dengan nama Rumah Singgah Tuan Kadi. Kadi atau Qadhi sendiri adalah gelar tersohor pada masa kesultanan. Pemilik awal rumah ini adalah Qadhi Haji Zakaria bin Haji Abdul Muthalib yang pernah menjabat sebagai Ketua Kerapatan Syariah Kesultanan Siak.

Pernah menjadi tempat singgah Sultan Syarif Kasim II, Sultan Siak ke-12.

4. Masjid Raya Nur Alam

Matahari mulai tergelincir dari posisi tertingginya, artinya aku sudah bisa memasuki kamar Hotel Sri Indrayani. Mengambil arah tenggara, aku berniat mampir untuk bershalat Dzuhur di Masjid Raya Nur Alam sebelum tiba di penginapan.

Masjid tertua di Pekanbaru.

Masjid peninggalan Kesultanan Siak Sri Indrapura ini masih berdiri kokoh dengan kubah kuningnya sebagai simbol kebesaran Melayu. Rasa-rasanya, rakyat Pekanbaru pantas berterimakasih kepada Sultan Abdul Jalil Alamuddin Syah, Sultan Siak keempat yang mendirikan masjid megah ini.

5. Masjid Agung An-Nur

Panas kota mulai mereda apalagi aku sudah selesai berbasuh badan di hotel. Selesai menyantap makan siang maka aku melanjutkan eksplorasi. Setelah mengunjungi masjid tertua, kini aku menuju ke masjid termegah di Provinsi Riau.

Kelelahan telah berjalan hampir 4 km, aku memilih menggunakan ojek online saja menuju Masjid Agung An-Nur, dua kilomoter ke tenggara.

Taj Mahalnya Indonesia.

Masjid Agung An-Nur sendiri telah menjadi icon religi Provinsi Riau sejak tahun pertama dibangun, yaitu tahun 1963. Pastikan kamu tak terlewat mengunjunginya jika berada di Pekanbaru.

6. RTH Putri Kaca Mayang

Berikutnya, aku bergegas menuju ke pusat kota. Pilihanku berikutnya adalah Ruang Terbuka Hijau (RTH) Putri Kaca Mayang. Terletak di sebuah sisi jalan protokol kota Pekanbaru, taman ini terlihat lebih rapi dari taman pertama yang ku kunjungi.

Nama taman diambil dari nama seorang putri dalam dongeng yang melegenda di masyarakat.

Waktu yang sudah menggelincir ke arah sore, satu persatu warga terlihat mendatangi taman untuk sekedar melepas penat atau mengajak anak-anak untuk menghabiskan waktu dengan bermain di sekitar taman.

7. Jalan Jenderal Sudirman.

Seperti nama jalan yang sama di Jakarta, Jalan Jenderal Sudirman di Pekanbaru juga memainkan peran sebagai jalan protokol di kota Pekanbaru.

Sebagai jalan utama tentu banyak hal yang bisa dinikmati di sepanjangnya. lebarnya ruas jalan dengan sibuknya lalu lalang kendaraan dihiasi oleh arsitektur bangunan-bangunan mentereng di kedua sisinya menjadikan Jalan Jenderal Sudirman menjadi spot fotografi yang layak dikunjungi.

Perpustakaan Soeman HS, Menara Lancang Kuning, Kantor Gubernur Riau dan Menara Dang Merdu adalah arsitektur yang tampak mencolok dan berbeda dari bangunan-bangunan lain di sepanjang Jalan Jenderal Sudirman.

Jalan berhiaskan asmaul husna di sepanjang tepinya.

Yuk, berlibur ke Pekanbaru.

Kisah Selanjutnya—->