Moored at Kedai Payang Market

<—-Previous Story

“I’m not from India, I’m from Iran”, the bunk bed neighbor’s traveler answered my question.

“Do you know where is a middle eastern salon near here?. I think I need a salon for relaxation”, he suddenly asked the receptionist and hotel owner.

I inwardly laughed at that “funny” scene that morning, a light conversation before I set out to explore Kuala Terengganu for the first time since arriving.

I rushed down the stairs to get out of The Space Inn, along Engku Pengiran Anom 2 Street, heading north, repeating the original way when heading to the inn. Of course, I went back to Air Jernih Street, met again at the intersection where Politectic Kuala Terengganu became a landmark besides PMINT Tower and retraced Masjid Abidin Street until I arrived back in east side of Hentian Bas Majlis Bandaraya Kuala Terengganu.

The east side of Hentian Bas Majlis Bandaraya Kuala Terengganu.
Rows of Interstate Bus ticket counters.
So here it was…. The tree just got “dressed up”……

It was just that, two hundred meters before arriving at bus terminal, I was fascinated by the art of yarn bombing which pinned colorful knitted threads to a row of trees in a side of Masjid Abidin Street’ sidewalk, right on the west side of PB Square. Make the city atmosphere more lively.

Arriving at bus terminal, I immediately struggled to find an Interstate Bus ticket to go to Kuala Lumpur the day after tomorrow.

“There are even cheaper ones, Sir?”, I joked at an Arowana Bus ticket counter staff.

“Nothing…. It’s only 43 Ringgit, Sir…. this is the cheapest”.

“Okay, I’ll take one, Sir …. For the date of 31st”.

A few minutes ago, I had secured a ticket to Kuala Lumpur, now I was a little calmer to start exploring my first destination.

Yupsz, I was going to Kuala Terengganu’s market.

That market is only a kilometer from Hentian Bas Majlis Bandaraya Kuala Terengganu, so I decided to just walk. I slowly enjoyed the crowds around Kampung Daik Street, under the shade of roofed corridor along sidewalk, what a comfortable way to walk. My steps also had to turn right in front of Balai Bomba dan Penyelamat Jalan Kota’s Office, which were identical in color to the fire brigade offices in Jakarta (my hometown), bright red.

Now I felt reluctant to continue swinging steps due to the scorching heat of sun in the path in front of me that wasn’t longer covered. Finally, I decided to take a break at the end of covered corridor, sitting in a concrete bench, waiting for the cloud to cover the sun.

Kuala Terengganu fire department.

A few moments of waiting while enjoying the passing of local residents, the cloud was present, now the street didn’t sting anymore, I immediately took a quick step down Sultan Zainal Abidin Street. Finally, two hundred meters ahead, I arrived at Kedai Payang Market which was starting to get busy.

The Kedai Payang Market dis seem to show off its beauty, it was said that the two-year-old building functions to replace the old building that had retired.

Rows of tents with white cloth roofs stretched across market’s face, separating the parking area from commercial area. The large tents showed that  market’s interior area wasn’t enough to facilitate the bustling commerce in downtown Kuala Terengganu.

Now I’ve entered market inside which was very crowded, the stalls with red brick motifs still looked new, the alleys seemed full of visitors passing by. Several clowns and pet equipment sellers were seen cramming into several corners of stalls selling songket, batik, handicrafts and traditional snacks from Terengganu. While in the back area, it appeared that a special area was provided for a row of culinary stalls with a mainstay menu of Nasi Dagang, Laksa, Nasi Lemak and several other specialties.

Kedai Payang Market back view.
The market front.
Market atmosphere.
Rows of clothing stalls.
Culinary stalls behind the market.
Come on, first enjoy the beauty of Terengganu River!

I just kept going until I reached its backyard. Apparently that market is right on the outskirts of very clean Terengganu River. Bot Penambang (Passenger Boats) could be seen moving back and forth to mobilize Terengganu residents from a bank to another. The Bot Penambang (Passenger Boat), which is relied upon as the city’s water taxi, seems to have originalized the atmosphere of Terengganu that morning.

The beauty of the expanse of Terengganu River finally started to make me fall in love with that city and managed to tame me to just linger for a while enjoying the gentle breeze in a concrete gazebo which is part of public facilities belonging to Pasar Kedai Payang.

“Don’t be in a hurry, Donny….Sit down and enjoy”.

Next Story—->

Malam Penutup di Kuala Terengganu

<—-Kisah Sebelumnya

Sore hari….Jam enam kurang seperempat….

Aku duduk di kursi paling depan sisi kiri ketika Bas KITē perlahan meninggalkan kompleks Taman Tamadun Islam. Melalui jembatan penghubung satu-satunya, Bas KITē menyudahi putaran roda di atas Pulau Wan Man.

Only me….
Bapak pengemudi yang budiman.

Kini Bas KITē akan menuntaskan setengah perjalanan tersisa menuju Hentian Bas Majlis Bandaraya Kuala Terengganu, sesampainya di sana nanti, bus akan beristirahat untuk beroperasi kembali esok hari pada pukul setengah sepuluh pagi.

Dalam perjalanan pulang itu, aku lebih santai dan leluasa untuk berbincang-bincang dengan si pengemudi. Dalam perjalanan sisa itulah dia bercerita tentang aktivitas hariannya bersama empat pengemudi Bas KITē lain dalam mengoperasikan bus kota istimewa tersebut.  Dia juga bercerita mengenai anaknya yang begitu susah mencari pekerjaan di Kuala Terengganu, banyak sektor pekerjaan memilih menggunakan tenaga kerja asing yang menyebabkan susahnya warga lokal mencari mata pencaharian. Aku hanya mendengarkannya sebagai bentuk empati, walau aku sebenarnya tak tahu fakta aslinya.

Dalam perjalanan pulang itu, pengemudi bus hanya menaikkan satu penumpang perempuan setengah baya yang tampaknya sudah sangat dikenal akrab olehnya. Mungkin perempuan itu adalah langganan Bas KITēnya, sehingga begitu dia naik, si pengemudi langsung bertanya akrab tentang aktivitas si perempuan sepanjang hari. Selebihnya setelah naiknya penumpang perempuan tersebut, hanya percakapan mereka berdua saja yang mendominasi hingga perjalanan usai. Percakapan berlogat kental Terengganu itu mencoba kufahami walau aku hanya bisa meyerapnya sedikit saja.

Jam enam lebih seperempat aku tiba di Hentian Bas Majlis Bandaraya Kuala Terengganu….

Melompat turun dari bus dan mengucapkan sekali lagi rasa terimakasih kepada sang pengemudi Bas KITē yang telah memberikan lima menit berharganya untukku supaya bisa menikmati keindahan Masjid Kristal, aku berusaha secepat mungkin meninggalkan terminal. Aku tak mau terjebak gelap di dalam terminal.

Aku melangkah gesit melalui Jalan Masjid Abidin untuk tiba di perempatan dimana Menara PERMINT berdiri. “Itu suara apa ya?…”, langkahku terhenti ketika mendengar suara berisik dari sebuah ketinggian. Akibat suara itu, aku mengurungkan langkah menuju penginapan. Aku kini melangkah menyusuri Jalan Sultan Ismail menuju sumber suara. “Oalah….Itu sekumpulan burung gereja”, aku kini mengetahuinya. Di seluruh luasan muka gedung Wisma PERMINT, bertengger buanyakkk sekali burung gereja yang bersahutan suara satu sama lain, menjadikan suara itu bak sebuah harmoni yang enak terdengar di saat menjelang maghrib.

Begitu lama aku tertegun, mengabadikan dan memvideokan pemandangan itu hingga dua orang turis lain tiba-tiba datang di sebelahku dan melakukan hal yang sama. Setelah beberapa saat menikmati harmoni suara burung gereja, serentak pelita-pelita jalanan mulai hidup, lampu-lampu gedung mulai dinyalakan, menjadikan jalur di sepanjang Jalan Sultan Ismail memamerkan keindahan lampu warna-warninya.

Sepertinya aku harus menikmati malam penutup di Kuala Terengganu dengan berada di jalanan walau hanya sesaat”, aku memutuskan.

Langkah eksplorasi malamku dimulai dari KT Walk yang merupakan area lapang yang biasanya menyajikan pemandangan pasar malam untuk warga lokal. Hanya saja malam baru saja memulai masanya, deretan kedai makanan baru bersiap diri untuk menjamu calon tamu-tamunya yang akan tiba sebentar lagi. Karena belum ada aktivitas yang berarti, aku pun hanya menikmati sejenak suasana KT Walk dari sebuah pojok tanah lapang itu.

Menikmati paduan suara burung gereja di Wisma PERMINT.
Sisi depan KT Walk.
Sisi dalam KT Walk yang masih sepi.

Malam semakin merayap naik dan lampu-lampu mulai tampak lebih mempesona seiring dengan menggelapnya langit. Aku terus menyisir sepanjang Jalan Sultan Ismail untuk kemudian tertegun pada sebuah toko buku yang tampaknya menjadi toko buku favorit di kota itu, SMO Bookstores namanya. “Tak ada salahnya jika aku masuk…”, aku mulai iseng.

Aku bergegas memasuki toko buku itu. Begitu memasuki toko, aku hanya memperhatikan sekitar serta menyambangi beberapa rak buku yang banyak didatangi pengunjung. “Sekumpulan novel yang telah disadur dalam Bahasa Melayu”, aku sedikit mengernyitkan dahi sebagai penanda aku tak meminatinya.

SMO Bookstores itu tak sebesar brand toko buku kenamaan di Indonesia, koleksinya tak seberapa, tetapi banyak warga yang berkunjung di dalamnya. Mungkin tingkat literasi warga Malaysia yang baik membuatnya demikian.

Aku akhirnya keluar dari SMO Bookstores dan kembali melanjutkan perjalan menikmati suasana malam Kuala Terengganu. Walaupun tak terlalu ramai, malam itu mampu membuatku sedikit takjub karena selama dua hari di Kuala Terengganu, aku lebih dominan menikmati suasana siangnya saja. Walau saja gemerlap pelita malam itu tak seindah di Kuala Lumpur, tetap saja menyimpan pesona tersendiri. Sebuah kota yang tak begitu padat sedang menampilkan keelokan malamnya.

Aku menikung di pangkal utara Jalan Air Jernih yang masih saja bergeliat perniagaan. Berjalan di sepanjang jalan itu, langkahku kembali terhenti pada sebuah 7-Eleven, aku sengaja memasukinya untuk mencari makanan cepat saji sebagai menu makan malamku. Rasanya aku telah enggan kembali melangkah sedikit jauh untuk mengunjungi Kedai Kak Na yang siang tadi kusambangi. Lebih baik mencari makanan ala kadarnya saja di minimarket itu.

Aku keluar dari 7-Eleven dengan menenteng nasi goreng kemasan yang sudah dipanaskan dalam microwave untuk beberapa saat. Aku segera meninggalkan minimarket itu menuju penginapan sembari menikmati pemandangan tersisa. Menyambung langkah sedikit di Jalan Kota Lama aku berbelok ke kiri di Jalan Engku Pangeran Anom 2 untuk kemudian tiba di penginapan, The Space Inn. .

Engku Pangeran Anom, siapakah gerangan?

Engku Pangeran Anom adalah seorang bangsawan Terengganu dengan nama lengkap Pengiran Anum Engku Abdul Kadir bin Engku Besar. Beliau adalah seorang yang sangat memahami sejarah Terengganu dan sering menjadi rujukan kesultanan yang pada waktu itu dipimpin oleh Sultan Ahmad.

Aku tiba di penginapan tepat pukul setengah delapan….

Saatnya aku berbasuh, makan malam, melipat jemuran dan merapikan backpack karena esok hari aku akan meninggalkan Kuala Terengganu tepat pukul setengah sepuluh pagi.

Wisma Maidam yang tinggi menjulang di Jalan Sultan Ismail yang digunakan untuk kantor Bank Islam Kuala Terengganu.
Perempatan yang sering kulalui tiap hari selama di Kuala Terengganu.
Umobile Centre (Kedai Peralatan Telekomunikasi) di Jalan Engku Sar. Engku Sar mengacu pada nama ayahanda dari Engku Pengiran Anom yang bernama lengkap Syed Abdullah Al-Idrus. “Sar”adalah sebutan lain dari “Sir”.
Gedung Aneka KAMDAR di Jalan Kota Lama yang digunakan sebagai ASC (Arena Sports Centre) yang merupaka bisnis Sport Venue di Kuala Terengganu.
Tidur wooeey….Sudah jam 11 malam….Besok jalan lageee.

Kisah Selanjutnya—->

BAS KITē ….Bus Kota Andalan Kuala Terengganu

<—-Kisah Sebelumnya

Usai mencuci celana jeans, t-shirt dan kaos kaki, aku pun berbasuh. Membuat badan segar dan mengusir lusuh. “Masih terlalu dini untuk tidur, lebih baik aku nongkrong di shared-kitchen saja untuk mengisi botol-botol air minumku yang mulai surut”, ideku tetiba muncul.

Mulai turunlah aku ke lantai dua dimana meja resepsionis dan shared-kitchen berada. Sesampainya di sana, tampak keberadaan Mr. Okamoto yang perlahan menyeduh kopi.

Where was you going today, Mr. Okamoto?”, aku mendahului bertanya ketika dia melempar senyum saat aku mengucurkan air kran ke dalam botol-botol minumanku.

Hi Donny, I didn’t go everywhere today. I was tired. I decided to take a rest all day in my room”, dia terkekeh sembari menyereput kopi seduhannya sendiri.

Ohhhhh…..I think you have found a nice day today….Hahahaha. I see you are very fresh now”, aku menyegerakan duduk di hadapannya dan melanjutkan percakapan.

Entah bagaimana mulanya, Mr. Okamoto mengisahkan banyak hal malam itu….Dari kisah menawannya  budaya Okinawa, kenangan minum kopi bersama warga lokal Aceh, perilaku gadis-gadis Jepang di zaman modern, kelucuan seorang muridnya yang berasal dari Yogyakarta, serta kisah suka dukanya berprofesi menjadi guru Bahasa Inggris di ibu kota.

Sedangkan aku menimpali sedikit cerita mengenai petualanganku mengunjungi Jepang tiga tahun silam, menjelajah Terengganu di hari pertama tadi siang hingga  rencanaku menjelajah Timur Tengah beberapa hari dihadapan.

Keistimewan dari percakapan itu adalah teraciknya secangkir kopi oleh Mr. Okamoto untukku.

Beuh….Kopi Arabica itu masih terbayang nikmatinya hingga kini.

—-****—-

Senin pagi itu, aku sengaja bangun sedikit siang. Usai Shalat Subuh, aku kembali tidur dan baru bangun tepat pukul sembilan pagi. Usai berbasuh, aku bersarapan dengan menyesap bubuk oat yang kubawa dari rumah, kusajikan serbuk itu dalam tuangan air panas dan mencampurnya dengan sesendok gula pasir yang ada di dapur penginapan.

Dua puluh menit kemudian aku rampung bersarapan, aku mulai beranjak turun ke lantai satu dan bersiap melanjutkan eksplorasi. Melihat langit, sepertinya hari keduaku di Kuala Terengganu akan sepanas kemarin. Aku melangkah melewati Jalan Engku Pengiran Anom 2 untuk menggapai Jalan Air Jernih yang apabila ditarik lurus ke utara akan mengantarkanku kepada Hentian Bas Majlis Bandaraya Kuala Terengganu.

Terminal bus itu masih saja menjadi sekutuku dalam membedah keindahan Kuala Terengganu. Setidaknya aku sudah tahu harus kemana saja di sepanjang Senin itu.

Oh ya, kembali pada kisah sehari sebelumnya, setiba di terminal bus setelah diantar oleh myBAS dari Bandar Udara Sultan Mahmud, aku meluangkan waktu sekejap untuk merapat ke hentian BAS KITē. Aku sengaja mendokumentasikan rute bus kota andalan warga Kuala Terengganu itu. Keberadaan BAS KITē sendiri sudah kupantau dari Jakarta dua bulan sebelum keberangkatan.

Aku aja naik BAS KITē….Masak kamu engga?
Icip-icip BAS KITē lah….
Inilah rute pertama yang kunaiki.
Kagak naik di rute ini guwe mah….
Nah, Laluan C02 adalah rute terakhir yang kunaiki.

Nah, kalau kamu ke Kuala Terengganu dan ingin menghemat ongkos dalam mengeksplorasi kotanya, maka BAS KITē adalah solusi terbaik. Lha daripada naik taksi kemana-mana….Kan mahal….Ya toh.

Yuk kita intip apa itu BAS KITē?

Menurut hasil percakapanku dengan pengemudi BAS KITē ketika menuju Masjid Kristal, jumlah bus ini hanya ada lima unit di Kuala Terengganu, pengemudinya pun hanya lima orang. Tetapi pada papan rute yang berhasil aku foto, BAS KITē ternyata hanya memiliki empat rute….Hhmmmhh, mungkin satu unitnya berupa bus cadangan….Ah, aku mana tahu, lagian ngapain guwe pikirin yak.

Keunikan bus kota ini terletak pada desainnya. Jika dilihat dari luar maka badan bus kota ini menyerupai arsitektur rumah khas Terengganu. Kaca bus didesain bak jendela lengkung, sedangkan atap bus diberikan sentuhan lisplang berukiran khas. Sedangkan di bagian dalam bus, tempat duduk serta area pembatas antara pengemudi dan penumpang di dominasi oleh kombinasi bahan besi dan kayu penuh ukiran khas Terengganu….Ciamik deh pokoknya.

Bus kota berkapasitas 36 penumpang ini, usaha operasionalnya dimiliki oleh Cas Ligas SDN. BHD yang kantornya berada di Menara PERMINT, menara yang setiap hari berkali-kali aku lewati. Cas Ligas SDN. BHD sendiri adalah bisnis pengangkutan darat dan air di Kuala Terengganu. Kalau di Jakarta mungkin semacam PPD kali yak…..

Untuk bisa menaiki bus kota ini menuju berbagai destinasi wisata maka kamu harus mempersiapkan ongkos berkisar antara 1 hingga 5 Ringgit tergantung dengan jarak. Murah kan?…..

Bus kota yang berangkat paling pagi adalah BAS KITē jurusan Kuala Nerus (arah bandara tetapi tak mampir di bandara, jika kamu ingin menuju ke bandara gunakan saja jasa myBAS). BAS KITē jurusan ini berangkat tepat pukul setengah delapan pagi dan berangkat dengan interval waktu 1,5 sebelum tengah hari dan kemudian berangkat dalam interval 2 jam sekali ketika sudah lewat tengah hari. Bus terakhir berangkat jam setengah lima sore dari Hentian Bas Majlis Bandara Kuala Terengganu.

Sedangkan bus kota yang berangkatnya paling siang adalah BAS KITē jurusan Masjid Kristal. BAS KITē jurusan ini berangkat pertama kali pukul 9:30 pagi dan hanya menyediakan empat trip dalam sehari. Trip terakhir berangkat pukul lima sore dari Hentian Bas Majlis Bandara Kuala Terengganu.

Murah tapi terbatas……Tenang bisa di siasati kok.

Dengang jarak rerata dua jam untuk setiap keberangkatan maka setidaknya aku bisa mengunjungi minimal tiga destinasi dalam rute yang berbeda. “Nikmati saja, ga usah buru-buru…….”, begitulah fikirku menyikapi keterbatasan itu.

Supaya suasana hati tetap happy….Ya, kan?

Kisah Selanjutnya—->

Tertambat di Pasar Kedai Payang

<—-Kisah Sebelumnya

I’m not from India, I’m from Iran”, begitulah ucapan gemulai pejalan pria tetangga bunk bed menjawab pertanyaanku.

Do you know where is a middle eastern salon near here?. I think I need a salon for relaxation”, dia tetiba memberikan pertanyaan kepada resepsionis sekaligus si empunya hotel.

Aku tertawa dalam hati menemukan adegan “lucu”pagi itu, percakapan ringan sebelum aku beranjak melakukan eksplorasi Kuala Terengganu untuk pertama kali semenjak tiba.

Aku bergegas menuruni tangga untuk keluar dari The Space Inn, menyusuri Jalan Engku Pengiran Anom 2, menuju utara, mengulang kembali jalur awal ketika menuju penginapan. Tentu aku kembali merunut Jalan Air Jernih, berjumpa lagi perempatan dimana Politektik Kuala Terengganu menjadi tengara selain Menara PMINT serta menapaki ulang Jalan Masjid Abidin hingga tiba kembali di sisi timur Hentian Bas Majlis Bandaraya Kuala Terengganu.

Sisi timur Hentian Bas Majlis Bandaraya Kuala Terengganu.
Deretan konter tiket penjualan Bus Antar Negara Bagian.
Nah ini dia….Pohon aja “dibajuin”……(gambar akhirnya menyusul tampil karena permintaan teh Uchi…..Hahahaha).

Hanya saja, dua ratus meter sebelum tiba di terminal bus itu, aku terpesona dengan seni yarn bomb-ing yang menyematkan rajutan warna-warni benang pada deretan pohon di salah satu sisi trotoar Jalan Masjid Abidin, tepat di sisi barat PB Square. Membuat suasana kota menjadi lebih hidup.

Setiba di terminal bus, aku langsung berjibaku mencari tiket Bus Antar Negara Bagian untuk pergi menuju Kuala Lumpur esok lusa.

Yang lebih murah lagi ada lagi, Pak Cik?”, selorohku pada seorang penjaga konter tiket Bus Arwana.

Manè adè ….Cukup 43 Ringgit sahajè lah….ini paling murah”.

Okelah, saya ambil satu, Pak Cik….Buat tanggal 31”.

Beberapa menit lalu, aku telah mengamankan satu tiket menuju Kuala Lumpur, kini aku sedikit lebih tenang untuk mulai menjelajah destinasi pertama.

Yupsz, aku mau ke pasar rakyatnya Kuala Terengganu.

Pasar rakyat ini jauhnya hanya satu kilometer dari Hentian Bas Majlis Bandaraya Kuala Terengganu, jadi kuputuskan untuk berjalan kaki saja. Aku perlahan menikmati keramaian di sekitar Jalan Kampung Daik, di bawah naungan koridor beratap di sepanjang trotoarnya, sungguh jalur yang nyaman untuk berjalan kaki. Langkahku pun harus berbelok tepat di depan kantor Balai Bomba dan Penyelamat Jalan Kota yang warnanya identik dengan kantor-kantor pemadam kebakaran di Jakarta, merah menyala.

Kini aku merasa enggan untuk terus mengayunkah langkah gegara panas menyengatnya surya pada jalur di depanku yang sudah tak berpelindung. Akhirnya, aku memutuskan rehat sejenak di ujung koridor beratap, duduk di bangku beton, menunggu naungan awan melintas menutupi sengatan surya.

Kantor pemadam kebakaran Kuala Terengganu.

Beberapa saat menunggu sambil menikmati lalu lalang warga lokal, awan itu pun hadir, kini jalanan tak menyengat lagi, aku segera mengayunkan langkah cepat menyusuri ruas Jalan Sultan Zainal Abidin. Akhirnya, dua ratus meter di depan, aku tiba di Pasar Kedai Payang yang mulai ramai.

Pasar Kedai Payang memang tampak memamerkan keciamikan, konon bangunan berusia dua tahun itu berfungsi menggantikan bangunan lama yang sudah purna tugas.

Deretan tenda beratapkan kain putih tampak memanjang menyejajari muka pasar, memisahkan area parkir dengan area perniagaan. Tenda-tenda besar itu menunjukkan bahwa luasnya bagian dalam pasar tak cukup untuk memfasilitasi ramainya perniagaan di pusat kota Kuala Terengganu itu.

Kini aku sudah memasuki bagian dalam pasar yang sangat ramai, sekat-sekat kios bermotifkan bata merah masih tampak baru, gang-gang tampak penuh dengan lalu lalang para pengunjung. Beberapa badut dan penjual perlengkapan hewan peliharaan tampak menjejal di beberapa pojok kios penjualan songket, batik, kerajinan tangan dan jajanan khas Terengganu. Sementara di area belakang, nampak disediakan area khusus untuk deretan kios kuliner dengan menu andalan Nasi Dagang, Laksa, Nasi Minyak dan beberapa makanan khas lainnya.

Pasar Kedai Payang tampak belakang.
Bagian depan pasar.
Suasana dalam pasar.
Deretan kios pakaian.
Kios-kios kuliner di belakang pasar.
Yuk, nikmati dulu keindahan Sungai Terengganu!.

Aku terus saja meneruskan langkah hingga sampai di halaman belakang. Rupanya pasar ini tepat terletak di pinggiran Sungai Terengganu yang sangat bersih. Tampak Bot Penambang berhilir mudik memobilisasi warga Terengganu dari satu titik tepian ke tepian lain. Bot Penambang yang diandalkan sebagai taksi air kota tampak mengoriginalkan suasana Terengganu pagi itu.

Keindahan hamparan Sungai Terengganu akhirnya mulai membuatku jatuh cinta pada kota ini dan berhasil menjinakkanku untuk sekedar berlama-lama menikmati tiupan sepoi-sepoi angin semilir di sebuah gazebo beton yang merupakan bagian dari fasilitas umum milik Pasar Kedai Payang.

Ga usah buru-buru, Donny….Duduk dan nikmatilah”.

Kisah Selanjutnya—->