Sore hari….Jam enam kurang seperempat….
Aku duduk di kursi paling depan sisi kiri ketika Bas KITē perlahan meninggalkan kompleks Taman Tamadun Islam. Melalui jembatan penghubung satu-satunya, Bas KITē menyudahi putaran roda di atas Pulau Wan Man.


Kini Bas KITē akan menuntaskan setengah perjalanan tersisa menuju Hentian Bas Majlis Bandaraya Kuala Terengganu, sesampainya di sana nanti, bus akan beristirahat untuk beroperasi kembali esok hari pada pukul setengah sepuluh pagi.
Dalam perjalanan pulang itu, aku lebih santai dan leluasa untuk berbincang-bincang dengan si pengemudi. Dalam perjalanan sisa itulah dia bercerita tentang aktivitas hariannya bersama empat pengemudi Bas KITē lain dalam mengoperasikan bus kota istimewa tersebut. Dia juga bercerita mengenai anaknya yang begitu susah mencari pekerjaan di Kuala Terengganu, banyak sektor pekerjaan memilih menggunakan tenaga kerja asing yang menyebabkan susahnya warga lokal mencari mata pencaharian. Aku hanya mendengarkannya sebagai bentuk empati, walau aku sebenarnya tak tahu fakta aslinya.
Dalam perjalanan pulang itu, pengemudi bus hanya menaikkan satu penumpang perempuan setengah baya yang tampaknya sudah sangat dikenal akrab olehnya. Mungkin perempuan itu adalah langganan Bas KITēnya, sehingga begitu dia naik, si pengemudi langsung bertanya akrab tentang aktivitas si perempuan sepanjang hari. Selebihnya setelah naiknya penumpang perempuan tersebut, hanya percakapan mereka berdua saja yang mendominasi hingga perjalanan usai. Percakapan berlogat kental Terengganu itu mencoba kufahami walau aku hanya bisa meyerapnya sedikit saja.
Jam enam lebih seperempat aku tiba di Hentian Bas Majlis Bandaraya Kuala Terengganu….
Melompat turun dari bus dan mengucapkan sekali lagi rasa terimakasih kepada sang pengemudi Bas KITē yang telah memberikan lima menit berharganya untukku supaya bisa menikmati keindahan Masjid Kristal, aku berusaha secepat mungkin meninggalkan terminal. Aku tak mau terjebak gelap di dalam terminal.
Aku melangkah gesit melalui Jalan Masjid Abidin untuk tiba di perempatan dimana Menara PERMINT berdiri. “Itu suara apa ya?…”, langkahku terhenti ketika mendengar suara berisik dari sebuah ketinggian. Akibat suara itu, aku mengurungkan langkah menuju penginapan. Aku kini melangkah menyusuri Jalan Sultan Ismail menuju sumber suara. “Oalah….Itu sekumpulan burung gereja”, aku kini mengetahuinya. Di seluruh luasan muka gedung Wisma PERMINT, bertengger buanyakkk sekali burung gereja yang bersahutan suara satu sama lain, menjadikan suara itu bak sebuah harmoni yang enak terdengar di saat menjelang maghrib.
Begitu lama aku tertegun, mengabadikan dan memvideokan pemandangan itu hingga dua orang turis lain tiba-tiba datang di sebelahku dan melakukan hal yang sama. Setelah beberapa saat menikmati harmoni suara burung gereja, serentak pelita-pelita jalanan mulai hidup, lampu-lampu gedung mulai dinyalakan, menjadikan jalur di sepanjang Jalan Sultan Ismail memamerkan keindahan lampu warna-warninya.
“Sepertinya aku harus menikmati malam penutup di Kuala Terengganu dengan berada di jalanan walau hanya sesaat”, aku memutuskan.
Langkah eksplorasi malamku dimulai dari KT Walk yang merupakan area lapang yang biasanya menyajikan pemandangan pasar malam untuk warga lokal. Hanya saja malam baru saja memulai masanya, deretan kedai makanan baru bersiap diri untuk menjamu calon tamu-tamunya yang akan tiba sebentar lagi. Karena belum ada aktivitas yang berarti, aku pun hanya menikmati sejenak suasana KT Walk dari sebuah pojok tanah lapang itu.



Malam semakin merayap naik dan lampu-lampu mulai tampak lebih mempesona seiring dengan menggelapnya langit. Aku terus menyisir sepanjang Jalan Sultan Ismail untuk kemudian tertegun pada sebuah toko buku yang tampaknya menjadi toko buku favorit di kota itu, SMO Bookstores namanya. “Tak ada salahnya jika aku masuk…”, aku mulai iseng.
Aku bergegas memasuki toko buku itu. Begitu memasuki toko, aku hanya memperhatikan sekitar serta menyambangi beberapa rak buku yang banyak didatangi pengunjung. “Sekumpulan novel yang telah disadur dalam Bahasa Melayu”, aku sedikit mengernyitkan dahi sebagai penanda aku tak meminatinya.
SMO Bookstores itu tak sebesar brand toko buku kenamaan di Indonesia, koleksinya tak seberapa, tetapi banyak warga yang berkunjung di dalamnya. Mungkin tingkat literasi warga Malaysia yang baik membuatnya demikian.
Aku akhirnya keluar dari SMO Bookstores dan kembali melanjutkan perjalan menikmati suasana malam Kuala Terengganu. Walaupun tak terlalu ramai, malam itu mampu membuatku sedikit takjub karena selama dua hari di Kuala Terengganu, aku lebih dominan menikmati suasana siangnya saja. Walau saja gemerlap pelita malam itu tak seindah di Kuala Lumpur, tetap saja menyimpan pesona tersendiri. Sebuah kota yang tak begitu padat sedang menampilkan keelokan malamnya.
Aku menikung di pangkal utara Jalan Air Jernih yang masih saja bergeliat perniagaan. Berjalan di sepanjang jalan itu, langkahku kembali terhenti pada sebuah 7-Eleven, aku sengaja memasukinya untuk mencari makanan cepat saji sebagai menu makan malamku. Rasanya aku telah enggan kembali melangkah sedikit jauh untuk mengunjungi Kedai Kak Na yang siang tadi kusambangi. Lebih baik mencari makanan ala kadarnya saja di minimarket itu.
Aku keluar dari 7-Eleven dengan menenteng nasi goreng kemasan yang sudah dipanaskan dalam microwave untuk beberapa saat. Aku segera meninggalkan minimarket itu menuju penginapan sembari menikmati pemandangan tersisa. Menyambung langkah sedikit di Jalan Kota Lama aku berbelok ke kiri di Jalan Engku Pangeran Anom 2 untuk kemudian tiba di penginapan, The Space Inn. .
Engku Pangeran Anom, siapakah gerangan?
Engku Pangeran Anom adalah seorang bangsawan Terengganu dengan nama lengkap Pengiran Anum Engku Abdul Kadir bin Engku Besar. Beliau adalah seorang yang sangat memahami sejarah Terengganu dan sering menjadi rujukan kesultanan yang pada waktu itu dipimpin oleh Sultan Ahmad.
Aku tiba di penginapan tepat pukul setengah delapan….
Saatnya aku berbasuh, makan malam, melipat jemuran dan merapikan backpack karena esok hari aku akan meninggalkan Kuala Terengganu tepat pukul setengah sepuluh pagi.




