Terkagum dengan Hijau Retinanya…..

<—-Kisah Sebelumnya

Aku masih mengatur napas panjang, mencoba tenang di meja konter penjualan SIM Card. Mencoba untuk tidak panik.

I have failed to set up a SIM card with this quota five times. Or maybe, Do you want to try another type of data quota? Maybe better.” Dia menjelaskan.

No, I don’t want”, aku menukas tegas.

Oh, Okay….Just wait”, dia menaruh packaging SIM Card yang sudah tersobek di sudut meja.

Pria muda itu untuk sesaat berpindah melayani pelanggan yang lain.

Sedangkan aku terus menatap jam digital pada layar FIDS di tengah ruangan bangunan bandara. Untuk kemudian terdengar suara tertuju kepadaku,

I have a same problem with you”, seorang pelancong wanita berparas cantik bicara dari sisi belakangku.

Aku menoleh, tidak langsung menjawab tapi sejenak terpesona dengan hijau retinanya lalu memperhatikan gerakan tangan kirinya yang memegang sebuah paspor.

Itu paspor Russia”, aku membatin, aku sungguh mengenali paspor berwarna merah tersebut.

Are you sure?…. What did you do to fix it?”, aku memulai percakapan dengannya.

I buy the more bigger data”, tukasnya singkat sembari mengernyitkan dahi.

“How much did you buy?”, aku terus menatap matanya dengan percaya diri.

90.000 Som for 50 GB”, dia menjelaskan dengan sedikit jengkel sepertinya karena telah mengeluarkan budget berlebih.

I think that’s the best solution so you can go to downtown soon”, aku berusaha meleramkan kejengkelannya.

Yes, I will immediately go to downtown because the night is getting darker”, dia tersenyum, membereskan perlengkapannya dan mulai menarik trolley bagnya. “Bye”, dia melambaikan tangan.

Bye, I’ll try my best”, aku tersenyum dan berpura-pura tenang.

Tetiba terdengar suara dari meja konter penjualan SIM Card.

Hello, Sir….Your smartphone, please!”, seorang pria muda lain berbicara kepadaku

Aku membalikkan badan. “Oh sure, this is”, aku menyerahkan smartphoneku

Just wait, Sir”, dia menelungkupkan sembari menurun-naikan telapak tangannya sebagai usaha untuk menenangkanku.

Dia mulai mengutak-atik smartphoneku dan menggunakan alat elektronik yang aku tak paham fungsinya. Berkali-kali dia menaruh Beeline SIM Card yang kubeli pada alat itu lalu memasukkan ke dalam smartphone dan mengatur beberapa settingan di dalamnya.  

Hingga beberapa waktu kemudian, dia berucap, “It’s work”, dengan senyum memberikan smartphone itu kepadaku.

Benar saja, SIM Card itu kurasa telah aktif, aku melihat bar 4G itu telah menyala.

Selanjutnya aku menyerahkan 65.000 Som kepadanya dan kemudian bergegas pergi menuju exit gate bangunan bandara.

Aku melangkah menuju pintu keluar yang kumaksud melalui sebuah screening gate. Memindai backpack dengan cepat aku mudah melaluinya. Berlanjutlah langkahku yang sudah di dekat pintu keluar.

Pikiranku hanya satu, mencari keberadaan halte city bus demi menuju penginapan.

Dari beberapa sumber informasi yang kudapatkan, aku tahu bus kota itu bernomor 67 yang memiliku rute dari Islam Karimov Tashkent International Airport hingga ke Yunusobod.

Yunusobod sendiri adalah nama sebuah distrik. Orang lokal menyebut distrik dengan istilah “Tumani”. Di distrik itulah dormitory yang kupesan berada. Satu dari dua belas distrik yang membentuk Ibu Kota Tashkent. Yunusobod menjadi distrik penting karena jalan protokol utama ada di sana. Distrik dengan 20% populasi Tashkent.

Dengan percaya dirinya, aku membuka aplikasi berbasis peta. Menekan beberapa menu di dalamnya.

Damn….Aplikasi ini tak bekerja, belum terhubung dengan internet”, aku menatap kembali ke bagian dalam bangunan bandara. “Aku harus masuk ke dalam lagi….Menemui penjual SIM Card itu”, aku berpikir menghitung situasi.

Aku masih terperangkap di masalah yang sama.

Kisah Selanjutnya—->

Saling Tatap, Tersenyum Lalu Mengernyitkan Dahi

<—-Kisah Sebelumnya

Suasanan Arrival Hall setelah konter imigrasi.

Aku menarik shoulder strap kuat-kuat untuk menegakkan backpack di punggung. Maklum aku baru menginjak hari pertama petualangan, muatan backpackku masih sempurna penuh, enam koma delapan kilogram beratnya, tidak kurang, tidak pula lebih.

Menatap sejenak dinding kaca bangunan terminal hingga ke setiap sudut, selanjutnya aku menaiki tangga di depan entrance gate Terminal 1 – Islam Karimov Tashkent International Airport. Dan tuntas melintasi daun pintu kacanya, maka secara bersamaan aku telah berdiri di salah satu antrian konter imigrasi.

Aku memandang lekat-lekat deretan konter imigrasi itu, bentuknya menyerupai box telepon umum. Hanya ada microphone dan lubang kecil di bagian bawah untuk berkomunikasi antara pelancong dan petugas imigrasi. Berbeda dengan konter imigrasi umumnya yang biasanya berbentuk konter setengah badan sehingga pengunjung bisa bercakap dengan petugas secara langsung tanpa penghalang apapun.

Aku segera menurunkan backpack, mengeduk isinya demi menemukan satu zipper file folder berwarna kuning dimana segenap dokumen perjalananku tersimpan di dalamnya. Satu paspor aktif, dua paspor non-aktif, lembaran-lembaran itinerary, sepuluh e-ticket penerbangan berbeda serta empat hostel confirmation booking tersimpan rapi di dalam folder itu.

Usai menemukannya, aku memegangnya erat, memanggul backpack kembali dan melanjutkan antrian. Antrian di jalurku tampak didominasi oleh warga Asia Tengah seperti Kazakhstan, Tajikistan, Kirgistan dan Turkmenistan. Selebihnya adalah pelancong asal Eropa dan Russia. Hanya diriku sendiri yang menjadi satu-satunya turis asal Asia Tenggara….Keren ga sich?……Hmmh #sombong.

Satu hal yang perlu kuceritakan perihal rasa diri ketika berada di antrian imigrasi negara asing adalah was-was. Seorang solo traveler biasanya akan melihat di sepanjang antrian untuk mencari solo traveler lain. Sangat mudah untuk ditemukan, mana diantara antrian itu, seorang solo traveler atau group traveler. Biasanya dua solo traveler akan saling tatap, tersenyum lalu mengernyitkan dahi….Pertanda kita merasakaan ketegangan yang sama sebelum menghadap meja imigrasi….Hahaha.

Tetapi sore itu, selama mengantri, terlihat tak ada sesuatu yang dipersulit oleh petugas imigrasi di antrianku. Aku berharap hal itu akan terus berlangsung hingga proses keimigrasianku tuntas.

Next……”, teriakan yang lazim kudengar di antrian imigrasi.

Ini giliranku…..Whatever happens, happens”, aku mantap melangkah.

Aku tiba di depan konter imigrasi, menyerahkan paspor. Atas inisiatifku sendiri, kuselipkan lembar pemesanan hostel tempatku menginap, tiket penerbangan Uzbekistan Airways menuju Kazakhstan sebagai jaminan bahwa aku akan meninggalkan Tashkent. Demikianlah keunggulanku, selalu detail mempersiapkan sesuatu. Ketika pelancong lain hanya menyerahkan paspor maka sudah menjadi kebiasaan bahwa aku akan menyerahkan dokumen tiga kali lebih lengkap dari pelancong lain.

Sejenak petugas imigrasi itu terdiam, memeriksa segenap dokumen yang kuberikan. Membaca lembar demi lembar. Hanya saja, aku mulai khawatir ketika dia terhenti pada salah satu halaman paspor. Dia mengambil sebuah alat semacam pemancar sinar ultraviolet. Berkali-kali  petugas itu meletakkan pasporku di bawahnya. Aku tah dia sedang mendeteksi security ink di dalam pasporku, tinta itulah yang menjadi satu komponen penting dalam setiap paspor yang bisa digunakan untuk mengecek keabsahan sebuah paspor.

Aku begitu tegang menunggunya….Aku terus menatap wajah serius petugas imigrasi itu.

Tapi kabar baik masih berpihak padaku. Usai mengecek pasporku berkali-kali, petugas imigrasi itu akhirnya membubuhkan stempel free visa di halaman akhir paspor yang kemudian membuatku susah mencari keberadaan stempel itu.

Aku diperbolehkan memasuki wilayah yuridis Uzbekistan melalui sebuah jalur sempit di samping konter imigrasi.

Aku menarik napas panjang…..Aku berhasil memasuki Uzbekistan.

Yiaaaayyyy……Uzbekistan sendiri akhirnya menjadi negara ke-29 di dunia yang pernah aku kunjungi.

Sesenang-senangnya diriku, aku tetap waspada bahwa sejatinya aku sedang berkejaran dengan gelap. Aku sadar bahwa semakin lama berada di bangunan terminal bandara, resiko keamanan menuju ke penginapan di saat gelap juga semakin meningkat.

Oleh karenanya, aku harus segera membereskan segenap keperluan. Aku menyapukan pandangan ke segenap penjuru bangunan Terminal 1. Terminal itu tidak terlalu besar. Aku mudah sekali melihat setiap ujung ruangannya. Ya…..Aku mencari keberadaan money changer.

Melihat ke segala penjuru, tapi tak kunjung menemukannya. Aku khawatir karena bagaimana bisa membeli SIM card beserta paket datanya apabila tak bisa menukar Dollar yang kumiliki ke mata uang lokal.

Aku menarik napas dalam-dalam….Berusaha tenang.

Kisah Selanjutnya—->

Do Svidanya, Donny…..

<—-Kisah Sebelumnya

Touchdown Tashkent.

Satu budaya baru dari Kawasan Asia Tengah yang kudapatkan dalam penerbangan Uzbekistan Airways HY 554 adalah cara pegungkapan respek dan rasa terimakasih segenap penumpang kepada air crew. Seluruh penumpang asal Uzbekistan tampak bertepuk tangan meriah ketika roda pesawat berhasil menyentuh landas pacu untuk pertama kalinya.

Aku mengira kejadian itu hanyalah hal insidentil yang terjadi dalam penerbangan itu. Tetapi ternyata tidak. Budaya itu terus kutemui dalam penerbangan di Kawasan Asia Tengah. Aku menemukan kebiasaan yang sama ketika terbang bersama Air Astana dalam menjelajah beberapa wilayah Kazakhstan.

Di sebelah bangku, Dasha menunjukkan wajah sumringah. “Mungkin liburannya telah banyak meninggalkan kesan”, aku menduga-duga ketika akhirnya dia menoleh kepadaku.

Posadka*1)….Donny”, sembari mengacungkan kedua jempolnya di hadapanku.

Nice landing, Dasha….We arrive”, aku pun tak bisa lagi menyumputkan senyum.

Dasha mengeluarkan jaket tebal dari tas yang dia taruh di bawah kakinya, mengenakannya, dia tampak anggun dengan jaket bulunya yang berwarna biru langit itu.

Kurtka*2)….Donny”, dia menunjuk-nunjuk diriku,

Holodno*3)….”, dia menunjuk ke luar jendela pesawat.

Aku hanya menebak-nebak apa yang dituturkannya,

Pakai jaketmu, Donny. Di luar sana dingin”, aku terkekeh dalam hati.

Okay, Dasha”, aku berucap kepadanya antusias. Lalu menurunkan backpack dari bagasi kabin, mengeduk isinya, mengeluarkan jaket musim dingin bekas yang kubeli di Pasar Baru beberapa hari sebelum keberangkatan, lalu mengenakannya dengan cepat.

Ty Krasivyy*4), Donny”, Dasha kembali mengacungkan jempolnya. Sementara itu, aku hanya menengadahkan kedua tangan demi merespon ungkapannya sembari tersenyum. “Not bad”, batinku berucap.

Keluar dari kursi, Dasha mengucapkan salam perpisahan.

Do Svidaniya*5), Donny” dia melambaikan tangan dan bergabung dengan teman-teman satu perusahaannya.

Come on, kembali ke mode awal, Donny….Solo Traveling….Kamu akan bertemu orang-orang baik lagi di luar sana, Donny….Percayalah!”, aku menguatkan diri.

Aku menengok ke jendela, tidak ada aerobridge yang menempel di pintu pesawat. Itu artinya akan ada apron shuttle bus yang menunggu segenap penumpang di kaki pesawat. Aku melangkah ke pintu belakang yang sudah di jaga oleh satu pramugari dengan seragam blazzer berwarna hijau. Merangsek di antrian dan akhirnya aku benar-benar tiba di bibir pintu.

Oh God, Tashkent…..”, Aku tak sengaja telah melamparkan senyum menatap hamparan luas Islam Karimov International Airport.

Islam Karimov International Airport tampak dari pintu pesawat.
Uzbekistan Airways HY 554 Kuala Lumpur-Tashkent.

Izvinite*6)….Izvinite”, seorang penumpang berkata di belakangku. Itu karena aku mendadak terhenti di bibir pintu karena terkesima dengan pemandangan di bawah sana.

Hamparan luas apron dengan sebaran pesawat berbagai ukuran milik maskapai penerbangan Uzbekistan Airways. Puluhan light tower telah dinyalakan sebagai pertanda bahwa hari tengah menyambut datangnya malam. Sementara itu kabut tipis menjadi latar utama bandara terbesar di seantero Uzbekistan tersebut. Di sisi lain, satu unit apron shuttle bus berwarna biru terparkir dengan mesin menyala langsam siap menjemput segenap penumpang.

Aku menuruni mobile stairs, udara segar bersuhu -2o Celcius menerpa mukaku yang tak berpelindung, tanganku juga merasakan dingin yang sama. Tapi aku tak mau berlari, aku berjalan pelan menikmati suasana sebelum benar-benar memasuki shuttle bus.

Aku sudah di dalam shuttle bus beberapa waktu kemudian. Menanti penumpang lain datang memenuhi bus. Setelah terisi sepenuhnya, maka shuttle bus mulai membelah luasnya apron bandara demi mengantarkan penumpangnya menuju bangunan Terminal 1.

Untuk sesaat aku terlarut dalam perjalanan singkat di sepanjang apron, masih tak percaya aku berada di Tashkent. Sebuah kota yang hampir satu dekade terakhir bahkan tak pernah masuk dalam rencana untuk kusinggahi. Tapi takdir mengatakan lain, aku dimasukkan ke dalam pesona Tashkent yang di keesokan hari sudah bisa kujelajahi.

Apron shuttle bus itu berhenti. Aku telah tiba di bangunan Terminal 1. Mataku awas mengamati sekitar. Tepat turun dari pintu shuttle bus, Sebidang luasan pintu kaca menyambutku. Sementara di dalam sana terlihat jelas konter-konter imigrasi sedan sibuk melayani para penumpang untuk masuk ke wilayah yuridis Uzbekistan.

Baru kali ini aku melihat, konter imigrasi diletakkan tepat di depan pintu kedatangan penumpang….Amazing”, aku bisa tertawa kecil ketika menatapnya.

Aku mulai menggila, beberapa penumpang menatapku kerena aku tertawa ringan sendirian.

Note:

*1). Posadka = Pendaratan

*2). Kurtka = Jaket

*3). Holodno = Dingin

*4). Ty Krasivyy = Kamu terlihat tampan

*5). Do Svidaniya = Sampai jumpa

*6). Izvinite = Permisi atau maaf

Kisah Selanjutnya—->

Nervous di Atas Revoljucii

<—-Kisah Sebelumnya

Pegunungan Revoljucii di Tajikistan

Aku duduk menatap ke jendela sisi kanan. Hamparan putih salju di pegunungan Revoljucii menjadi pemandangan utama di sejauh mata memandang. Keindahannya telah menyirap segenap penumpang untuk berebut menontonnya.

Ketika penumpang di kolom tengah berdiri dan berseru-seru melihat keindahan alam itu, justru aku hanya duduk termangu menatap hal yang sama. “Ini sama tatkala aku menikmati indahnya Pegunungan Himalaya ketika terbang bersama Thai Airways di atas teritorial Nepal enam tahun silam.”, aku membatin.

Tatapanku sejenak berpindah ke layar LCD di depan. Jari telunjukku lincah memainkan tampilan menu di dalamnya. Aku mencari informasi berapa waktu tersisa bagi Uzbekistan Airways HY 554 untuk tiba di tujuan.

24 menit lagi aku akan  tiba”, aku mematung sejenak.

Jantungku berdegup lebih kencang. Aku mengaku pada diriku sendiri bahwa nervous telah menguasai diri. Setidaknya ada tiga hal yang membuat demikian. Tiga hal yang memenuhi segenap ruang di otakku.

Pertama….Suhu.

Terakhir kali mengunjungi negara empat musim adalah tahun 2016 silam. Taiwan-Jepang-Korea Selatan kala itu. Aku sepertinya telah kehilangan insting menjelajah negara yang sedang memasuki musim dingin. Selalu saja ada yang membuatku was-was dengan cuaca dingin. Dan kabar menegangkannya adalah Uzbekiztan termasuk negara yang Sebagian besar wilayahnya berada di iklim sedang dengan garis lintang yang lebih tinggi dar Korea Selatan. Aku akan memasuki suhu minimal -2o Celcius dalam waktu beberapa menit ke depan.

Kedua….Malam.

Tiba di saat malam adalah sesuatu hal yang selalu saja menyelipkan sebuah ketegangan. Menjelajah malam di kota lain di negeri sendiri saja membuat otak berpikir lebih keras, apalagi ini sebuah kota yang jaraknya 7.000 kilometer dari rumah. Aku terus me-rehearsel setiap tahapan langkahku menuju ke penginapan setiba di Tashkent beberapa saat lagi.

Ketiga….Imigrasi.

Menghadap ke meja imigrasi sebuah negara selalu saja menjadi tahapan yang sungguh mendebarkan. Oleh karenanya, aku selalu berdo’a setiap memasuki area imigrasi, memohon pertolongan Tuhan untuk mempertemukanku dengan opsir imigrasi yang baik hati dan mempermudah setiap langkahku untuk memasuki sebuah negara baru. Aku sendiri pernah mengalami hal kurang mengenakkan di imigrasi Busan dan imigrasi Kuala Lumpur. Dan siapa sangka aku akan menemukan masalah yang sama ketika menghadap imigrasi Maldives pada saat perjalanan pulang dari perjalanan panjang yang sedang kujalani tersebut.

Kembali ke kursi pesawat….

Pilot telah memberikan perintah kepada setiap awak kabin untuk mempersiapkan diri melakukan pedaratan. Lantas, para awak kabin melakukan pemeriksaan kepada setiap sabuk pengaman yang dikenakan penumpang, memastikan setiap kursi tegak sandarannya dan memastikan keadaan di luar bisa dilihat dari setiap jendela.

Maka, terjadilah percakapan antara pilot di kokpit dan menara pengawas, aku paham bahwa sang pilot sedang meminta izin untuk mendarat.

Pesawat perlahan menurunkan ketinggian, menembus beberapa gumpalan awan di lapisan bawah atmosfer, membuat goncangan lembut di pesawat berbadan lebar tersebut. Pemandangan kota Tashkent mulai tampak dari ketinggian.

Roda pesawat yang dikeluarkan dari lambung terdengar dari dalam kabin. Runway sudah semakin dekat. Pemandangan di luar berubah menjai garis-garis cepat yang bergerak berlawanan arah dengan laju pesawat.

Hentakan lembut yang kuharapkan terjadi. Roda pesawat sudah berputar di landas pacu.

Aku mendarat….

Aku tiba…..

Aku tak sabar lagi menginjakkan kaki di Islam Karimov Tashkent International Airport, bandara ke-37 di luar negeri yang pernah aku kunjungi.

Kisah Selanjutnya—>