Taman Monumen Proklamator Bung Hatta dan Kisahnya yang Bersahaja

Satu jam sudah aku mengupas kisah heroik di Tugu Pahlawan Tak Dikenal. Kini aku akan belajar sejarah lainnya di taman yang berbeda. Letaknya tepat di seberang timur tugu hitam berbentuk naga itu. Hanya perlu menyeberang sejenak Jalan Istana.

Dari etalase signboard di gerbang depan taman, rupanya Sumatera Barat sedang bersiap diri untuk menggelar seri balap milik Union Cycliste International (Persatuan Balap Sepeda Internasional) seminggu kedepan.

Tour de Singkarak ke-9, balap sepeda ranking lima dunia.

Menaiki dua puluh dua anak tangga berwarna gelap, aku mencapai pelataran taman. Dinamakan Taman Monumen Proklamator Bung Hatta, taman ini menampilkan patung utuh Mohammad Hatta berbaju safari empat saku yang dengan kharismanya melambaikan tangan kanan ke arah pertigaan Jalan Istana, Jalan H. Agus Salim dan Jalan Sudirman.

Gerbang depan taman.

Jika tadi aku berada di bawah permukaan jalan ketika berada di Tugu Pahlawan Tak Dikenal, kini aku berada tinggi di atas permukaan jalanan ketika menyambangi Taman Monumen Proklamator Bung Hatta. Dua hari mengeksplorasi kota, mulai tersadar bahwa aku terkadang sebentar di bawah, lalu tiba-tiba berada di ketinggian. Bukan Bukittinggi namanya jika tidak demikian.

Bertatap muka dengan Bung Hatta.

Tampak di belakang patung terdapat tiga halaman dinding yang mengisahkan perjuangan tokoh yang memiliki nama asli Mohammad Ibn ‘Atta ini.

Dihalaman pertama, tampak kehidupan Bung Hatta di rumah sederhananya, kisah saat Hatta mengaji di Batuampar hingga melanjutkan sekolah di MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs).

Di halaman dinding kedua, diceritakan suatu masa ketika Hatta memimpin Perhimpunan Indonesia di negeri Belanda saat beliau bersekolah.

Halaman pertama dan kedua di sisi kanan patung Mohammad Hatta.

Halaman dinding ketiga adalah masa masa indah ketika Hatta berhasil memprokalamasikan kemerdekaan bangsa Indonesia bersama Ir. Soekarno pada 17 Agustus 1945 hingga perjuangan dari meja perundingan satu ke meja perundingan yang lain demi pengakuan dunia atas kemerdekaan yang diproklamasikannya.

Dan layaknya sebuah skenario normal, halaman dinding keempat adalah masa pensiun Hatta dari dunia politik hingga masa dimana beliau mendapat penghargaan dari Presiden Soeharto.

Halaman ketiga dan keempat.

Jalanan telah tampak ramai dengan aktivitas, satu per satu warga yang sedang berolahraga tampak mengunjungi taman ini untuk sekedar melakukan pendinginan pasca berjogging, duduk bersantai di bangku taman dan berfoto dengan sosok Bung Hatta yang menjadi tokoh primadona kota mungil Bukittinggi.

Taman masih tampak basah sisa hujan deras semalaman.

Cukup tiga puluh menit bagiku untuk mengunjungi taman ini. Aku akan melanjutkan kembali eksplorasi Bukittinggi dengan mengunjungi Janjang Ampek Puluah, sebuah tangga penghubung antar pasar yang cukup tersohor dalam pariwisata kota ini.

Suasana Jalan Sudirman yang mulai sesak dengan kendaraan.

Yuk….Lanjut jalan kaki lagi…..

Kisah Selanjutnya—->

16 Destinasi Wisata di Bukittinggi

Berjalan kaki menyusuri Jalan Veteran, aku perlahan mendekati Hotel De Kock untuk melalukan check-in. Sejuk dan damai itulah gambaran awal di kepalaku mengenai Bukittinggi  ketika pertama kali tiba.

1. Jembatan Limpapeh

Setengah perjalanan menuju penginapan, aku sudah terpesona dengan sebuah jembatan gantung. Adalah Jembatan Limpapeh yang membentang diatas Jalan Ahmad Yani. Didirikan pada tahun 1992 dan berfungsi sebagai penghubung antara Taman Marga Satwa dan Budaya Kinantan dengan kawasan Benteng Fort De Kock. Membentang sepanjang sembilan puluh meter dengan lebar kurang lebih tiga meter, menjadikan jembataan ini begitu gagah terlihat dari jalanan.

2. Jam Gadang

Sebotol coca cola menutup sesi check-in ku sekaligus sebagai penanda mula untuk penelusuranku sore itu di sekitaran Pasar Atas. Menelusuri Jalan Yos Sudarso yang naik turun, langkahku tiba di sebuah landmark fenomenal yang terkenal di seantero Indonesia.

Jam Gadang, landmark pemberian Ratu Wilhelmina itu tampak gagah menjulang. Lama untuk sekedar menunggu lampu aneka warna muncul dan menyirami seluruh bangunan jam raksasa itu sebagai penanda bergantinya sore ke malam.Karena ketersohorannya, Jam Gadang  telah ditetapkan sebagai Titik Nol Kilometer Kota Bukittinggi. Atapnya yang berbentuk gonjong atau atap yang biasa dipakai pada Rumah Gadang menjadikan karya arsitektur Eropa itu memiliki kekayaan adat lokal.

3. Plaza Bukittinggi

Renovasi besar pada Taman Sabai Nan Aluih, menjadikanku hanya mampu menikmati keindahan Jam Gadang dari pelataran sebuah mall yang letaknya berseberangan dengan jam besar itu.

Plaza Bukittinggi dalam beberapa kurun waktu terakhir telah menjadi mall terbaik di Bukittinggi. Brand Ramayana menjadi pemain utama yang menempati tujuh puluh persen dari kapasitas keseluruhan mall ini.

4. Masjid Raya Bukittinggi

Keasyikan menikmati keelokan Jam Gadang hampir saja membuatku kehilangan Shalat Maghrib. Aku mencoba menelusuri asal adzan beberapa puluh menit sebelumnya. Menuju ke utara, akhirnya aku tiba di Masjid Raya Bukittinggi.

Masjid yang pada saat terjadinya gempa bumi tahun 2007 menjadi tempat perlindungan bagi warga yang mengungsi karena kerusakan yang diakibatkan oleh gempa besar itu.

5. Pasar Atas Bukittinggi

Jalan Cindua Mato menuju Pasar Atas

Masjid raya yang terletak tepat di pusat Pasar Atas inilah yang membuatku tertarik untuk sekalian menelusuri jalanan menuju ke Pasar Atas. Gelap yang terus melahap hari, membuat pemilik deretan ruko mulai menutup tokonya satu-persatu.

Pasar Atas adalah pasar yang menempatkan beberapa penjual Nasi Kapau, Es Ampiang Dadiah dan Kerupuk Sanjai yang menjadi kerupuk favorit untuk oleh-oleh bagi para pengunjung kota Bukittinggi.

Laparnya perut telah memaksa diriku untuk segera mencari menu santap malam. Makan malam di bawah Jembatan Limpapeh akhirnya menutup dua jam penjelajahan pada malam pertamaku di Bukittinggi

6. Tugu Pahlawan Tak Dikenal

Hari keduaku dimulai dengan beranjaknya diriku dari hotel pada pagi sepi. Bahkan aktivitas warga belum tampak. Sepi nan dingin tak menyurutkan langkah untuk mengunjungi Tugu Pahlawan Tak Dikenal.

Tugu ini dibangun untuk mengenang perlawanan para pahlawan yang tak bisa dikenali secara pasti dalam menentang Kolonialisme Belanda pada tahun 1905. Tugu dengan ornamen berbentuk lingkar ular naga besar dan diatasnya berdiri patung seorang pemuda memegang bendera.

7. Taman Monumen Proklamator Bung Hatta

Sementara di seberang depan tugu,  tampak sebuah taman dengan patung hitam Bung Hatta. Dikenal dengan nama Taman Proklamator Bung Hatta, taman ini didedikasikan untuk Mohammad Hatta, putera asli Bukittinggi yang memproklamirkan kemerdekaan Indonesia bersama Ir. Soekarno.

8. Janjang Ampek Puluah

Kembali menelusuri Jalan Cindua Mato yang kulewati semalam, aku menuju sebuah tangga penghubung antara Pasar Atas dan Pasar Bawah serta Pasar Banto. Sebuah tangga beton curam dengan empat puluh anak tangga berusia 112 tahun. Inilah perwujudan integrasi fasilitas publik versi tempoe doele. Pada waktu itu, Pemerintah Hindia Belanda dengan satuan kekuasaan setempat sepakat menghubungkan setiap pasar yang ada di Bukittinggi, salah satunya dengan pembuatan janjang atau anak tangga.

9 Museum Rumah Kelahiran Bung Hatta

Keluar dari gapura bawah dan melewati Banto Trade Centre yang tampak tak terawat, aku menuju ke kediaman Bung Hatta semasa kecil. Walaupun sesungguhnya rumah ini hanya berupa bangunan rekonstruksi, akan tetapi penataan interior dan penampilan eksterior dibuat semirip mungkin dengan kondisi rumah aslinya yang telah runtuh. Jika kamu ingin mengetahui sejarah hidup di balik kegemilangan Bung Hatta dalam karir politiknya, maka datanglah ke tempat ini.

10. Fort De Kock

Selesai berkunjung di Museum Rumah Kelahiran Bung Hatta, aku niatkan berjalan kaki menuju Benteng Fort de Kock melalui Jalan Pemuda yang lumayan panjang mendaki dan berkelok dari selatan ke utara. Tapi ternyata aku tak mampu lagi di pertengahan jalan, kupanggil tranportasi online untuk mengantarkanku tepat di gerbang depan Fort de Kock.

Benteng Fort de Kock ini didirikan oleh Kapten Bauer pada tahun 1825 di atas Bukit Jirek sebagai kubah pertahanan Pemerintah Hindia Belanda dalam menghadapi perlawanan rakyat dalam Perang Paderi yang dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol.

11. Taman Marga Satwa dan Budaya Kinantan (TMSBK)

Dari Fort de Kock, aku hanya perlu menyeberangi Jembatan Gantung Limpapeh menuju sebuah kebun binatang terkenal di Bukittinggi.

Taman Marga Satwa dan Budaya Kinantan (TMSBK) merupakan salah satu kebun binatang tertua yang ada di Indonesia dan satu-satunya di Sumatra Barat dengan koleksi hewan terlengkap di pulau Sumatra.

12. Museum Rumah Adat Baanjuang

Semakin berkembangnya kebun binatang ini, maka pada tahun 1935 dibangunlah Rumah Adat Baanjuang di dalamnya.

Difungsikan sebagai museum, rumah adat ini didedikasikan untuk mengangkat kebudayaan tradisional masyarakat Minangkabau. Di dalamnya dipertunjukkan berbagai pakaian, perhiasan dan alat-alat kesenian khas Minang.

13. Museum Zoologi

Tak jauh….Di timur laut kebun binatang, terdapatlah Museum Zoologi berwarna hijau sengan harimau sumatera dan ikan mas sebagai ikon museum. Museum yang didirikan bersamaan dengan Museum sejenis di Bogor pada 1894. Dua ribu jenis binatang diawetkan dan dipamerkan di dalam museum ini.

14. Ngarai Sianok

Aku meninggalkan Fort de Kock dari pintu masuknya. Niatan berikutnya adalah bermain ke Ngarai Sianok. Sebuah lembah yang terbentuk dari patahan alami, memiliki dinding tegak lurus dengan sungai Sianok mengalir di tengahnya.Tetapi sangat disayangkan hujan turun begitu lebatnya. Selepas turun dari ojek online, aku serasa tak bardaya dan menunggu hujan reda. Dibawah pohon aku terus mengamati lembah siku-siku pada topografi area ini.

Cekungan dereta tebing itu seakin diperindah dengan alira air sungai tepat d bawah jurang-jurang tinggi.

15. Lobang Jepang

Hujan mulai menipis tapi tetap tak kunjung reda, mengakibatkan asa menikmati  ngarai lebih lama harus kuakhiri. Aku mendapatkan ojek online dengan pengendara wanita berjilban berumur setengah baya. Di bawah hujan yang mulai mengerimis aku menuju Taman Panorama.

Sebelum mengeksplore Taman Panorama aku sempatkan untuk menelusuri sebuah lobang pertahanan terpanjang di Asia. Lobang Jepang yang dibuat atas perintah Letnan Jenderal Moritake Tanabe, Panglima Divisi ke-25 Angkatan Darat Balatentara Jepang. Sangat dalam, panjang dan mengagumkan.

16. Taman Panorama

Akhirnya kunjungan penutup jatuh di Taman Panorama, sebuah taman besar dengan dua buah pintu masuk di tepian Jalan Panorama. Dengan tiket seharga Rp. 15.000, aku bisa berusaha menikmati taman rindang ini pada detik-detik terakhirku di Bukittinggi.

Meninggalkan taman dan kembali ke hotel, aku bersiap menuju kantor travel untuk menuju Padang. Pukul 13:00 aku akhirnya benar-benar meninggalkan Kota Bukittinggi. Selamat tinggal Bukittinggi.

Jadi bagi kalian yang berniat ke Sumatera Barat….Berkunjunglah Ke Bukittinggi dan nikmati sejuknya udara kota.

Kisah Selanjutnya—->

Bung Hatta Proclamator Monument Park and Its Unpretentious Story

One hour I have peeled heroic story in Unknown Hero Monument. Now I would study other history in a different park. It’s precisely east across of that dragon-shaped black monument. Only need to cross for a moment on Istana Street.

From a signboard display at park front gate, apparently West Sumatra was preparing to hold a race series belonging to Union Cycliste International on a week ahead.

The 9th Tour de Singkarak, the fifth ranked bicycle race in the world.

Climbing twenty-two black stairs, I reached park courtyard. Named as Bung Hatta Proclamator Monument Park, this park features a intact statue of Mohammad Hatta in his four-pocket safari dress who with his charisma waved his right hand toward a T-junction of Istana Street, Haji Agus Salim Street and Sudirman Street.

Park front gate.

If I had been under road surface when I was at Unknown Hero Monument, now I was high above road surface when I visited Bung Hatta Proclamator Monument Park. Two days exploring the city, it began to realize that I was sometimes briefly down, then suddenly I was on high. It isn’t Bukittinggi if it don’t like that.

Face to face with Bung Hatta.

Looks behind the statue, there are three wall pages which tell the story of a character struggle whose real name is Mohammad Ibn ‘Atta.

On the first wall page, you can see Bung Hatta’s life in his simple house, Hatta story who studying Islam at Batuampar and then continuing his education at MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs).

On second wall page, It is tell about a time when Hatta led “Perhimpunan Indonesia” Organization in Netherlands when he studied.

The first and second pages are on right side of Mohammad Hatta statue.

Third wall page is a beautiful period when Hatta managed to proclaim Indonesia independence with Ir. Soekarno on August 17th, 1945 until his struggling from one negotiating table to another negotiating one for world’s recognition of proclaimed independence.

And like a normal scenario, fourth wall page is Hatta’s retirement from his political world to the time when he received an award from President Soeharto (The second president of Indonesia).

Third and fourth page.

Streets have seemed crowded with activities, one by one residents who were exercising seemed to visit this park to just cool down after jogging, sat relaxed at park and took a picture with Bung Hatta statue which became pride figure of small city of Bukittinggi.

The park still looked wet as rest of heavy rain overnight.

Just thirty minutes for me to visited this park. I would continue Bukittinggi exploration by visiting Janjang Ampek Puluah, a connecting market link which is quite famous in this city’s tourism.

Sudirman Street situation was starting to get crowded with vehicles.

Come on….Continued to walk again….

16 Tourist Attractions in Bukittinggi

Walking through Veteran Street, I slowly approached De Kock Hotel to check-in. Cool and peaceful is an image in my head about Bukittinggi when I arrived.

1. Limpapeh Bridge

Halfway to hotel, I was fascinated by a suspension bridge. It is the Limpapeh Bridge which stretches over Ahmad Yani Street. It was built in 1992 and have function as a link between Wildlife Cultural Park Kinantan and Fort De Kock Fortress area. Stretching along ninety meters with approximately three meters in width, making this bridge so dashing visible from Ahmad Yani Street.

2. Gadang Clock Tower

A bottle of coca cola closed my check-in session as well as a starting marker for my exploration around Pasar Atas that afternoon. Walking through Yos Sudarso Street with up-down contour, my steps arrived at a phenomenal landmark which is famous throughout Indonesia.

Gadang Clock Tower, a landmark which was given by Queen Wilhelmina, looked dashing. Needed long time in waiting for different color lights to appear and illuminated entire this giant clock tower as a marker of switching from evening to night. Because of its fame, Gadang Clock Tower has been designated as Kilometer Zero Point of Bukittinggi City. “Gonjong” shaped roof or roof style which was commonly used in “Gadang House” (typical house of West Sumatra) makes this European architectural art possess a local customs wealth.

3. Bukittinggi Plaza

Major renovations at Sabai Nan Aluih Park, made me only able to enjoy the beauty of Gadang Clock Tower from mall courtyard which is located opposite this big clock tower.

Bukittinggi Plaza in the last few years had became the best mall in Bukittinggi. Ramayana (Indonesia’s prominent department stores) becomes main player which occupies seventy percent of overall mall capacity.

4. Bukittinggi Grand Mosque

Fun in enjoying the beauty of Gadang Clock Tower almost made me lose Maghrib Prayers. I tried to trace azan origin several minutes before. Heading north, I finally arrived at Bukittinggi Grand Mosque.

The mosque which in earthquake 2007 became a refuge for residents who evacuated because of damage which was caused by the massive earthquake.

5. Pasar Atas Bukittinggi

Cindua Mato Street towards Pasar Atas

Grand mosque which is precisely located in the center of Pasar Atas (a famous market in Bukittinggi) made me interested to explore road towards Pasar Atas. Dark which continued to devour the day, made shop owners began to close them one by one.

Pasar Atas is a market which places several sellers of Kapau Rice, Ampiang Dadiah Ice and Sanjai Crackers which are favorite crackers for souvenirs which were bought by Bukittinggi visitors.

Hungry stomach has forced myself to immediately look for dinner. Dinner under Limpapeh Bridge finally closed my two hours exploration on my first night in Bukittinggi

6. Unknown Hero Monument

My second day exploration began with leaving the hotel on a quiet morning. Even residents’ activities hadn’t been seen. Quiet and cold didn’t dampen my steps to visit Unknown Heroes Monument.

This monument was built to commemorate heroes who couldn’t be identified in opposing Dutch Colonialism on 1905. The monument with a circular shaped ornament of large dragon and on its top stands a statue of a young man who holding a flag.

7. Bung Hatta Proclamator Park Monument

While across the front of monument, there is a park with a black statue of Bung Hatta. Known as Bung Hatta Proclamator Park, this park was dedicated to Mohammad Hatta, the native son of Bukittinggi who proclaimed Indonesian independence with Ir. Sukarno.

8. Janjang Ampek Puluah

Returning to Cindua Mato Street which I passed last night, I headed for a connecting stairway between Pasar Atas and Pasar Bawah also Pasar Banto (three markets in Bukittinggi). A steep concrete staircase with forty stairs which is 112-year-old. This is embodiment of public facilities integration in past time. At that time, Dutch East Indies Government and several local powers agreed to connect every market in Bukittinggi, one of which was by making janjang or stairs.

9. Bung Hatta Birthplace Museum

Coming out of lower gate and passing through Banto Trade Centre which looked unkempt, I headed to Bung Hatta residence when he was a child. Even though this house is actually only a reconstruction building, but its interior arrangement and exterior appearance are made as closely as possible to condition of the original house which has collapsed. If you want to know about life history behind Muhammad Hatta glory in his political career, then come to this place.

10. Fort De Kock

After visiting Bung Hatta Birthplace Museum, I intended to walk to Fort de Kock through Pemuda Street with quite a long climb walking and meanders from south to north. But apparently I wasn’t strong in middle of journey, I called for online transportation to drive me at Fort de Kock front gate.

Fort de Kock was built by Captain Bauer in 1825 on Jirek Hill as the defense dome of Dutch East Indies Government in facing popular resistance i.e Paderi War which led by Tuanku Imam Bonjol (Indonesia’s national hero).

11. Wildlife Cultural Park Kinantan

From Fort de Kock, I just needed to cross Limpapeh Suspension Bridge to a famous zoo in Bukittinggi.

Wildlife Cultural Park Kinantan is one of the oldest zoos in Indonesia and the only one in West Sumatra with the most complete collection of animals on Sumatra island.

12. Baanjuang Traditional House Museum

As the zoo grew, in 1935 the Baanjuang Traditional House was built in it.

Functioned as a museum, this traditional house is dedicated to elevating the traditional culture of Minangkabau people. Its inside were exhibited various clothes, jewelries and typical Minang art tools.

13. Zoological Museum

Not far away….In northeast of the zoo, there is a Zoological Museum with Sumatran tiger and goldfish as its icons. The museum was established in conjunction with a similar museum at Bogor in 1894. Two thousand species of animal are preserved and exhibited in this museum.

14. Sianok Canyon

I left Fort de Kock from its entrance. My next destination was Sianok Canyon. A valley formed by natural fracture, has a wall which is perpendicular to Sianok River which flowing in the middle. But it was unfortunate that the rain fell so heavily. After getting off from an online motorcycle taxi, I felt like I was hopeless and just waited for rain to stop. Under a tree, I continued to observe valley in a side of Sianok Canyon.

15. Japanese Tunnel

The rain began to thin but still never let up. It caused my hope to enjoying the canyon for a longer time had to ending. I get a online motorcycle taxi with middle-aged women as the rider. Under light drizzle, I headed for Panorama Park.

Before exploring Panorama Park, I made time to explore the longest defensive hole in Asia. A Japanese tunnel made by order of Lieutenant General Moritake Tanabe, 25th Division of Japanese Army Commander. Very deep, long and amazing.

16. Panorama Park

Finally the closing visit fell at Panorama Park, a large park with two entrances on edge of Panorama Steet. With a ticket for USD 1.1, I tried to enjoy this shady garden in my last seconds in Bukittinggi.

Leaving the park and returning to hotel, I prepared to go to a travel agent office to reach Padang city. On 13:00, I finally left Bukittinggi. Goodbye Bukittinggi.

So for you who intend to go to West Sumatra….Visit Bukittinggi and enjoy the cool air there.