Ikan Bakar Cianjur dan Kota Lama Semarang

<—-Kisah Sebelumnya

Kutinggalkan kerumunan anak-anak sekolahan asal Jawa Timur yang asik berwisata religi di halaman Masjid Agung Jawa Tengah. Anak belasan tahun itu terlihat sangat girang berlarian di halaman, berbaris rapi dan berfoto berlatar tempat ibadah yang mengesankan itu, bahkan beberapa berguling sesuka hati di pelataran.

Honda Jazz hitam menjemputku atas perintah aplikasi GOJEK. Setelah mengkonfirmasi tujuan dan aku mengiyakan, hatchback hitam itu meluncur menuju Tanjung Emas.

Tempat itu sekarang sudah keren lho mas, mas Donny harus keliling di sana!”, Dia menjelaskan seluk beluk dengan detail bak duta wisata Kota Atlas.

Wah, boleh juga tuh mas”, ucapku berharap membuatnya bangga.

Sudah direnovasi besar-besaran mas, habis lebih dari 150 Miliar loh mas, cocok buat nongkrong dan hunting foto mas”, dia terus mejelaskan.

Hatchback yang kutunggangi akhirnya berhenti dengan lembut di slot parkir.

Perjalanan seharga Rp. 10.000 menuju ke sini.
Bersiap makan malam bersama.

Tak terasa lama berkendara, aku tiba. Aku harus bersiap lebih dahulu, sebelum tamu-tamu datang. Malam ini aku akan mentraktir semua kolega penting perusahaan di Restoran Ikan Bakar Cianjur. Memasuki bekas gedung pengadilan zaman kolonial ini, dengan cepat para juru saji menangkap niatku dengan mengarahkan ke tempat duduk yang cukup menampung jumlah tamu yang kucacah.

Ruang restoran yang mengikuti fungsi awal bangunan, penuh ruang, setiap ruang dipenuhi deretan meja makan berbahan jati atau meja kaca berangka jati. Sementara kursi-kursi khas betawi berderet rapi, sementara jendela-jendela persegi menjulang ke langit-langit dengan tralis berkerangka susunan bujur sangkar mini. Tampak hiasan ruangan berupa almari-almari souvenir berbahan kayu jati dan berpendingin beberapa kipas angina besar.

Memesan bangku terlebih dahulu.
Tak cukup sederet, tapi dua deret bangku yang dipesan.

Walhasil, dinner itu selesai bersamaan dengan gesekan credit card senilai hampir dua juta.Ringan kugesekkan kartu hutang itu karena semuanya akan direimburs ke kantor.

Berpamitan, para kolega undur diri untuk beristirahat dan melanjutkan training esok hari. Sementara, aku masih punya waktu untuk melangkah lebih jauh di sekitaran Kota Lama. Tak akan seluruhnya terjelajah, karena 31 Ha butuh waktu seharian untuk mengeksplornya.

Terimakasih Tumenggung Trunojoyo….

Berkat pemberontakanmu ke Mataram, Kota Semarang menjadi kota pesisir pengekspor gula dan rempah ke Eropa pada Abad ke-19. Dibawanya arsitektur Renaisans ke Semarang, vintage, kaca-kaca berwarna, bentuk atap unik, ruang bawah tanah, jendela besar dan juga pintunya. Dan menjejakkan kaki di dalamnya….Kini aku sedang menikmati kompleks Kota Lama di bawah temaram pelita bulan.

Aku mulai memasuki Jalan Letjen Suprapto. Penampakan gereja tua bermenara kembar dengan jam dinding besar di setiap menara lalu beratapkan kubah besar berwarna merah bata, menjadikan arsitektur bangunan ini seperti perpaduan dua jenis tempat ibadah yaitu masjid dan gereja. Gereja berumur lebih dari 250 tahun kini bernama Gereja Protestan Indonesia Barat Immanuel. Nama asli dari gereja itu sendiri adalah  Nederlandsch Indische Kerk.

Gereja Blenduk, Lanskap Kota Lama Semarang.
Gereja Blenduk, Lanskap Kota Lama Semarang.

Sementara berseberangan jalan dengan Gereja Blenduk, terletaklah gedung Jiwasraya, berbentuk Letter-L, berusia 104 tahun, dan disiram dengan spektrum cahaya merah-hijau-biru secara bergantian. Adalah ex-Nederlandsch Indische Level Sverzeking De Lifrente Maatschaapij (NILLMI), boleh dibilang sebagai bisnis asuransi utama Belanda tempoe doeloe. Pernah juga berfungsi sebgai Balaikota pada zaman Kolonialisme Belanda.

Bangunan 3 lantai dengan kubah di sikunya.

Sementara di sebelah timur gereja Blenduk, tepat di sebuah perempatan, terletaklah sebuah Bar dan Bistro berjuluk Spiegel. Bangunan persegi panjang dua lantai dengan pintu di salah satu sudutnya. Gedung klasik ini berasal dari akhir Abad ke-19 ini (125 tahun). Begaya Spanish Colonial, gedung bekas perusahaan Winkel Maatschappij H Spiegel ini menunjukkan sebuah perjuangan bisnis Tuan H. Spiegel yang awalnya hanya bekerja sebagai seorang manajer perusahaan, kemudian menjadi pemilik perusahaan yang dipimpinnya itu.

Perusahaan ini sendiri didirikan oleh Tuan Addler.

Bagian terakhir yang kukunjungi adalah Taman Srigunting. Taman dengan empat pohon besar di setiap ujung taman dan bergelantungan lampu hias di sepanjang rantingnya. Membuat suasana begitu romantis bagi para pasangan muda yang sedang kasmaran, atau para keluarga kecil dengan putra-putri mungilnya atau juga buat para kaum jomblo yang ingin mencari jodohnya.

Tempat yang baik untuk menghabiskan weekend.

Saatnya pulang ke hotel dan beristirahat untuk persiapan pelatihan hari kedua esok hari……

Zzzzzzzz……….

Kisah Selanjutnya—->

Ikan Bakar Cianjur and Semarang Old Town

I left school children crowd from East Java who enjoying their religious tour in Grand Mosque of Central Java courtyard. Those teenager looked very happy running around courtyard, neatly lined up and taking pictures with the impressive worship site as the background, some even rolled at will in courtyard.

Black Honda Jazz (Jazz is a brand of Honda in Indonesia) picked me up based on online taxi application. After driver confirmed the destination and I said yes, that black hatchback hurtled towards Tanjung Emas.

That place is beautiful. Mr Donny has to go around there!“, driver explained ins and outs of Old Town in detail like a tourist ambassador for Atlas City.

Wow, that’s great, Sir“, I said, hoping to make him proud.

It’s been renovated on a large scale with cost of over USD 11 million, Sir. Perfect for hanging out and hunting for photos“, he continued to explain.

Hatchback which I was riding finally gently stopped in the parking slot.

The trip with cost of USD 0,75 towards here.
Get ready for dinner together.

Didn’t feel long in driving, I arrived. I have to prepare in advance, before all guests arrived. Tonight I will treat all company important colleagues at Ikan Bakar Cianjur Restaurant. Entering the former colonial-era courthouse, a waiter quickly caught my intention by directing me to a seat which was sufficient to accommodate number of guests who were counted.

The restaurant room which followed original function of the building….Many rooms, each room was filled by rows of teak dining tables or teak-framed glass tables. Meanwhile, typical Betawi chairs were neatly lined up, while square windows were soaring to ceiling with trellises which have frame in mini square shape. You could see room decoration in the form of a souvenir cupboard which made from teak wood and rooms were cooled by several large fans.

Order a stool in advance.
Not enough a row, but two rows of table were ordered.

As a result, dinner was finished at the same time as a credit card swipe in value about USD 150. I lightly drew the credit card because everything would be reimbursed to my office.

Saying goodbye, colleagues came back to rest and would continue training on next day. Meanwhile, I still had time to go further around Old Town. It wouldn’t be entirely explored, because 31 acres took all day to explore it.

Thank you Tumenggung Trunojoyo….

Because of your rebellion to Mataram Kingdom, Semarang City became a coastal city which exporting sugar and spices to Europe in the 19th century. Bringing Renaissance architecture to Semarang, vintage, stained glass, unique roof shape, basement, large windows and doors. And I was stepping foot in it …. Now I’m enjoying the Old Town complex under dim moonlight.

I started to enter Letjen Suprapto Street. The appearance of an old church with twin tower and with a large wall clock on each tower and a large red brick dome roof, made this building architecture was similar with a combination of two types of worship place, i.e a mosque and a church. The church which is more than 250 years old was now called Gereja Protestan Indonesia Barat Immanuel. The original name of the church itself was Nederlandsch Indische Kerk.

Blenduk Church, Semarang Old Town Landscape.
Blenduk Church, Semarang Old Town Landscape.

While across street from Blenduk Church, lied Jiwasraya building, which was Letter-L shape, 104 years old, and was splashed with alternating red-green-blue light spectrum. It was ex-Nederlandsch Indische Level Sverzeking De Lifrente Maatschaapij (NILLMI), arguably as the main Dutch insurance business in past time. Also functioned as City Hall during Dutch colonialism era.

A 3-stories building with a dome at its elbows.

Meanwhile, to east of Blenduk church, right at an intersection, lied a Bar and Bistro which have a name of Spiegel. A two-story rectangular building with a door in one corner. This classic building date from the end of 19th century (125 years). In Spanish Colonial style, a former building of Winkel Maatschappij H Spiegel company showed a business struggle of Mr. H. Spiegel who initially only worked as a company manager, then became the owner of company which he led.

The company itself was founded by Mr. Addler.

The last part which I visited was Srigunting Park. A garden with four large trees at each end of the garden and hanging decorative lights along its branches. Making the situation was so romantic for young couples who were in love, or for small families with their children or also for single people who wanted to find their soul mate.

Good place to spend a weekend.

Time to go back to the hotel and rest in preparation for the second day training tomorrow ……

Zzzzzzzz……….