Royal Camel Farm: Pertama Kali Mengunjungi Peternakan Unta

<—-Kisah Sebelumnya

Mataku mengerjap bersamaan dengan kumandang adzan Subuh. Berlanjut melaksanakan shalat dan seusainya, aku bergegas mengguyur diri di bawah shower lalu bersarapan dengan dua potong roti tawar dengan selipan lembar keju ditengahnya.

Menunggu sejenak hingga hari mulai terang, maka usai bersiap diri, aku segera turun ke lobby hotel dan bermaksud untuk memulai eksplorasi.

Setelah memeriksa ulang saldo GO Card, ternyata aku masih memiliki nominal untuk melakukan satu kali perjalanan menggunakan bus kota. Maka aku melangkah menuju sebuah halte bus di bilangan Palace Avenue, hanya berjarak seratus meter saja. Aku berencana menuju Manama Terminal 3 menggunakan bus kota bernomor 45.

Menaiki bus itu maka  dalam seperempat jam aku tiba,

Langkah pertama yang kulakukan di terminal itu adalah mengisi ulang saldo GO Card. Sayangnya, aku tak menemukan menu daily pass di layar mesin tiket otomatis. Maka aku memutuskan untuk mengirim pesan ke nomor operator yang tertera di dinding konter ticket vending machine. Membaca jawaban pesan dari operator, untuk kemudian aku paham bahwa dengan mentop-up GO Card senilai 600 Fils berarti secara otomatis aku akan mendapatkan daily pass di dalam kartu.

Halte Bus Palace Avenue-6
Manama Terminal 3.
Budaiya Market.

Masalah saldo GO Card usai, maka aku melanjutkan perjalanan menuju Distrik Budaiya di barat kota Manama dengan menaiki bus kota bernomor X3. Perjalanan tahap kedua ini cukup jauh, menempuh jarak lima belas kilometer dengan waktu tempuh setengah jam. Sesampainya di distrik itu maka diturunkanlah diriku di halte bus Budaiya Market.

Hanya transit sejenak, aku tak membuang waktu dengan menaiki bus bernomor U4. Tujuan akhirku berada di Distrik Janabiyah. Terdapat sebidang peternakan Unta milik Sheikh Mohammed bin Salman Al Khalifa di distrik tersebut. Sheikh Mohammed bin Salman Al Khalifa sendiri adalah paman dari Raja Bahrain. Dari informasi yang kudapatkan, peternakan ini nyatanya bukan berorientasi pada penyediaan daging unta melainkan hanya untuk sekedar menyalurkan hobby sang pemilik saja.

Aku menaiki bus bernomor U4 menuju ke selatan sejauh lima belas menit dan menempuh jarak sejauh lima kilometer. Aku tiba dengan diturunkan di halte bus Janabiya Highway-14.

Aku yang awalnya ragu untuk memasuki peternakan karena membaca signboard berbunyi “Private Property, No Entry”, tetapi akhirnya tanpa pikir panjang, justru aku memberanikan diri untuk memasuki gerbang peternakan yang terletak di sisi barat Janabiyah Highway tersebut. Aku menuju ke salah seorang penjaga peternakan yang wajahnya khas kazahkstan, tapi entah apakah memang dia berasal dari sana.

Gerbang Royal Camel Farm.
Area dalam Royal Camel Farm.
Itu dia untanya.
Anak unta sedang dalam masa menyusu ke induknya.
Besar banget ya untanya.
Unta dengan rantai di kaki.

Dengan penuh senyum, penjaga peternakan itu mengarahkan jari telunjuknya ke arah pintu masuk peternakan. Mengucapkan terimakasih, akhirnya aku melenggang masuk ke dalam area peternakan.

Satu kesan utama yang kudapat ketika memasuki kawasan peternakan adalah rasa takjub. Inilah untuk pertama kali aku melihat unta dan momen itu terjadi di daerah asal unta itu sendiri, Jazirah Arab.

Tampak beberapa unta yang berada di luar kandang, keempat kakinya dikaitkan dengan rantai besi yang diatur panjang rantainya sehingga tak mengganggu gerak si unta. Sedangkan unta yang berada di dalam kandang dibiarkan bebas.

Beberapa tumpukan rumput disediakan pengelola peternakan supaya para pengunjung mendapatkan sensasi memberi makanan ke sekawanan unta tersebut.

Aku yang awalnya hanya berada sendirian di dalam peternakan, dalam satu jam kemudian mulai banyak para pengunjung berdatangan, kebanyakan dari mereka adalah turis asing sehingga peternakan itu menjadi ramai dengan pengunjung.

Selama satu setengah jam lamanya, aku berada di Royal Camel Farm dan karena aku harus mengejar pelaksanaan ibadah shalat jum’at, maka padapukul sebelas lebih seperempat aku memutuskan untuk kembali ke Distrik Budaiya dan memutuskan untuk mencari masjid di distrik itu saja.

Kisah Selanjutnya—->

Melintas Gudaibiya Palace: Menyudahi Eksplorasi Hari Kedua

<—-Kisah Sebelumnya

Gelap mulai meyelinap, temperatur kota mulai jatuh, pelita buatan mulai menerangi jalanan. Sementara aku berdiri di bawah gerbang utama Al Fateh Grand Mosque, menatap GO Cards warna merah yang kupegang dengan tangan kanan.

Seingatku saldonya sudah habis semenjak kemarin sore”, aku bergumam pelan.

Gumamku punya makna bahwa aku harus pulang menuju penginapan dengan mengandalkan langkah kaki.

Terbesit ragu dalam hati, ada rasa tak yakin dengan jalanan yang mulai dikuasai gelap. Begitulah aku, jika pulang terlambat, selalu saja khawatir jikalau menemukan “blank spot” di jalanan yang identik dengan kriminalitas.

Sekarang atau tidak sama sekali, Donny!”, aku mulai menghardik mentalku sendiri untuk segera memutuskan sebelum malam mulai hadir sepenuhnya.

Aku memutuskan mulai melangkah menuju penginapan daripada mencari mesin otomatis penambah saldo GO Cards.

Mengambil arah kiri dari gerbang Al Fateh Grand Mosque, aku mengayun langkah cepat dengan fokus tinggi demi mengumpulkan keberanian. Tiba di sebuah perempatan besar, aku memilih memindahkan langkah di ruas baru, Bani Otbah Avenue.

Oh ya, siapa sebenarya Bani Otbah hingga bisa menjadi nama jalan utama di Manama?

Bani Otbah adalah perkumpulan dari beberapa suku Arab yang asalnya mendiami sebuah dataran tinggi di wilayah tengah negara Saudi Arabia, yang dikemudian hari, suku ini menyebar hingga ke Kuwait dan Bahrain dan menjadi penguasa di kedua negara itu.

Langkahku tiba di sebuah pertigaan, adalah Osama bin Zaid Avenue yang membentuk pertigaan itu. Kini langkahku berbelok menuju utara, masih mempertahankan ruas yang sama. Tengara dari pertigaan itu adalah penginapan bintang empat bertajuk Ramada, sebuah penginapan yang berafiliasi dengan hotel kelas dunia berbintang lima, Wyndham Hotel namanya.

Ramada Hotel @ Bani Otbah Avenue.
Gerbang Gudaibiya Palace.
Jalanan di dekat Andalus Garden.

Bani Otbah Avenue mulai padat, sepertinya para pekerja sedang dalam perjalanan ke rumah masing-masing. Kemacetan tampak tak terhindarkan. Tetiba dari sebuah mobil jeep warna hitam, seorang perempuan meneriakiku sambil menunjuk kabin belakang. Aku paham bahwa dia sedang menawariku tumpangan.  Beberapa saat setelahnya, seorang laki-laki dari balik kemudi menampakkan wajahnya dan melambaikan tangan untuk memintaku masuk sambil tersenyum.

Aku yang merasa aneh dengan kejadian itu, lantas berinsting untuk mengambil opsi aman. Tentu aku tak akan mengambil tawaran itu. Aku berusaha memberikan kode dengan merapatkan kedua telapak tangan sebagai penanda bahwa tempat yang kutuju sudahlah dekat dan akan lebih baik jika ditempuh dengan berjalan kaki. Beruntung, mereka berdua memahami dan memberikan acungan jempol sebagai penanda bahwa mereka mengerti maksudku.

Kenapa bisa terjadi demikian,

Karena di sepanjang trotoar hanya aku seorang diri yang berjalan, dan itu terkesan aneh. Mungkin sebagian besar warga Manama selalu menggunakan mobil kemana mereka pergi.

Semenjak tawaran itu tiba, aku telah berdiri bersisian dengan Gudaibiya Palace, sebuah istana utama yang digunakan sebagai venue beberapa event politik dan ekonomi penting di negara Bahrain, bahkan istana ini digunakan untuk pengukuhan raja-raja baru Bahrain.

Hanya mampu melintas dan menikmati keindahan Gudaibiya Palace dari sisi trotoar, membuat langkahku tiba di Andalus Garden, taman kota yang pernah kusambangi pada malam pertamaku di Manama.

Dengan tiba di taman itu, berarti aku sudah sangat dekat dengan penginapan. Tak terasa aku telah melangkah sejauh hampir dua setengah kilometer. Aku mulai menurunkan deru napas seiring dengan mulai tenangnya hati.

Menu seharga 700 Fils.

Kuputuskan untuk transit sejenak di kedai makan khas India yang telah menjadi langgananku semenjak pertama kali tiba di Manama. Aku menikmati beberapa lembar paratha dan chicken fry sebagai menu makan malam di akhir petualangan hari keduaku.

Saatnya beristirahat sebagai persiapan  petualangan di keesokan harinya.

Kisah Selanjutnya—->

Bus No A1 dari Bahrain International Airport menuju Pusat Kota

<—-Kisah Sebelumnya

Airport bus no A1.

Setelah membeli beberapa kebutuhan penting seperti SIM card, mata uang lokal Dinar dan kartu transportasi umum GO card, maka aku pun menyempatkan diri sejenak untuk menuju halaman parkir bandara demi melihat bentuk utuh bandara kebanggaan Bahrain tersebut dari pelataran depannya.

Ketika tiba di pertengahan lahan parkir….

Aku berdiri di sisi selatan bangunan bandara, aku menghadapkan muka ke arah barat. Satu hal yang membuat damai dalam tatapan tersebut adalah siraman matahari senja yang membuat nuansa di depan bandara menjadi melankolis. Membuatku tak merasa jauh dari rumah.

Spektrum sinar jingga itu menerobos di sela-sela padatnya kendaraan yang terparkir rapi di pelataran. Sedangkan sebaran tiang lampu menjulang seragam bak jari-jari senja yang bersiap menyambut gelap untuk unjuk diri.

Menjelang pukul enam sore….

Kuputuskan untuk meninggalkan halaman parkir bandara demi menuju halte airport bus. Aku berdiri di salah satu sisi platform dan telah menyiapkan mental untuk memasuki pusat kota.

Lima belas menit lamanya aku menunggu kedatangan airport bus, membuat kaki terasa pegal berdiri terlalu lama menunggunya. Bersyukur sebelum hari beranjak terlalu gelap, bus tersebut menampakkan muka di ujung tikungan drop-off zone bandara. Aku menatapnya awas, mencari penanda bahwa bus yang baru saja datang itu adalah bus tepat yang akan kunaiki. Kulihat jelas, kode “A1” tampak berada di ujung kanan atas dashboard bus.

Yes, itu bus yang sedang kutunggu”, aku membatin senang.

Tak lama kemudian, bus itu merapat di halte dan berhenti tepat di depanku. Tanpa pikir panjang aku pun melompat melalui pintu depan. Men-tap GO card di sebuah fare machine terdekat dengan pengemudi, aku memperhatikan dengan seksama bahwa saldo GO card ku berkurang sebanyak 250 Fils.

Tak lama menaikkan segenap penumpang, airport bus bernomor A1 mulai merangsek meninggalkan bandara melalui ruas Airport Avenue. Pada sisi ini, pemandangan awal kota mulai memapar pandangan. Pelita-pelita bumi mulai dinyalakan.

Keelokan panorama kota semakin tampak memesona mata ketika bus menyusuri Shaikh Hamad Causeway. Melintasi jembatan Shaikh Hamad yang mengangkangi ceruk laut Khawr Al Qulay’ah, membuatku bisa menatap ke sejauh hamparan perairan ceruk yang di ujung utaranya memperlihatkan indahnya bangunan bercahaya The World Trade Center. Bangunan bak piramid terbelah itu memendarkan warna biru dan hijau secara bersamaan.

Menyelesaikan etape di Jembatan Shaikh Hamad, bus mulai memasuki area lain perkotaan yang padat kembali. Semua area yang kulewati tampak sama seperti kota-kota besar lain di dunia yang pernah aku kunjungi.

Secara keseluruhan bus yang kunaiki melalui 19 halte berbeda. Sedangkan aku hanya akan turun, jika bus telah mencapai halte Ministry of Education di pusat kota Manama.

Berdasarkan informasi yang kuperoleh, Plaza Hotel tempatku menginap hanya berjarak 100 meter di timur halte tersebut. 

Dalam satu jam perjalanan, akhirnya aku tiba di halte yang kusasar. Tak terasa aku telah menelusuri keindahan kota sepanjang 10 kilometer.

Selamat datang Manama.

Kisah Selanjutnya—->

Berburu Perlengkapan di Bahrain International Airport

<—-Kisah Sebelumnya

Hampir pukul lima sore ketika Air Arabia G9 105 telah berhenti sempurna di salah satu sisi apron Bahrain International Airport.

Sudah menjadi tabiat diri, aku selalu menjadi pribadi yang tak sabaran ketika telah tiba di tempat baru. Mungkin aku menjadi penumpang yang pertama kali bersiap untuk turun karena begitu pesawat berhenti, aku bergegas mengambil backpack dari bagasi atas, untuk kemudian kupanggul lalu mengambil posisi berdiri di depan barisan untuk keluar pertama kali dari kabin.

Keluar dari pintu depan pesawat, langkahku diarahkan melalui aerobridge yang segenap dindingnya terbuat dari kaca bening. Seperti biasa, aku berhenti dan mengamati aktivitas di sekitar apron dari dinding kaca itu.

Sejauh mata memandang, segenap sisi apron dipenuhi promotion wallpaper milik stc, sebuah perusahaan telekomunikasi terkemuka yang dimiliki oleh Saudi Telecom Company. Sementara itu, deretan baggage carts ditempatkan di beberapa titik apron. Tak ketinggalan pula baggage conveyor-belt truck yang tampak bersiap di sekitarnya.

Aku berdiri terdiam untuk beberapa saat demi mengamati pemandangan di apron ketika para penumpang dengan langkah cepat meninggalkan aerobridge. Ketika penumpang terakhir melintas di belakangku maka kuputuskan untuk segera memasuki bangunan bandara.

Berjalan melalui arrival hall dengan karpet abu-abu, aku bergegas menuju konter imigrasi.

Menemukan konter itu dengan mudah, aku mulai mengantri dan pada gilirannya aku melangkah menghadap ke salah satu petugas.

Begitu tiba di depannya, aku dengan inisiatif tinggi menyerahkan paspor, e-booking confirmation dari hotel yang akan kuinapi, lembaran e-Visa, e-ticket penerbangan Kuwait Airways untuk meninggalkan Bahrain menuju Kuwait dalam beberapa hari ke depan.

Is this your first time in visiting Bahrain?”, tanyanya singkat

Yes, Sir”, aku menjawab juga dengan singkat

Your Hotel?

Plaza Hotel, Sir

 “Oh….Where is it?

Qudaibiya, Sir”, beruntung aku tahu distrik tempatku menginap.

Oh, Okay…”, dia menutup percakapan sembari memberikan slip pembayaran e-Visa.

Selepas menyelesaikan urusan imigrasi, aku menuju ke lantai bawah melalui escalator. Tujuan utamaku kali ini adalah mencari local SIM card untuk keperluan komunikasi selama berada di Bahrain. Tanpa berpikir panjang, aku memasuki stc outlet dan membeli Prepaid SIM Card berkuota 8 GB dengan harga 7 Dinar.

Usai mendapatkan SIM Card, aku pun harus menyelesaikan urusan berikutnya. Aku beranjak menuju money changer outlet dan aku menemukan outlet milik Bahrain Financing Company (BFC) di sebuah koridor yang dijaga oleh staff pria berkebangsaan Philippina. Tanpa berpikir panjang, aku segera menukarkan 150 Dolar Amerika di outlet tersebut. Melalui transaksi itu maka aku bisa menggenggam 56 Dinar yang akan kugunakan sebagai bekal mengeksplorasi Bahrain dalam beberapa hari ke depan.

Suasana apron Bahrain International Airport di sore hari.
Arrival corridor.
Air Arabia G9 105 yang kunaiki.
Arrival hall.
Bahrain International Airport tampak muka.
Senja menyelimuti bandara sesaat sebelum kepergianku menuju pusat kota.

Terakhir sebelum aku benar-benar meninggalkan bandara……

Langkah terakhirku kutujukan demi mencari akses transportasi umum, tentunya itu adalah airport bus. Setelah mengeksplorasi lokasi di sekitar halte bus bandara, aku memahami bahwa diperlukan GO card untuk bisa menaiki bus umum di Bahrain. Dan di Bahrain International Airpot, GO card ini dijual melalui automatic vending machine yang letaknya berada di sebelum pintu keluar bangunan bandara.

Aku memulai transaksi di mesin otomatis tersebut untuk kemudia berhasil mendapatkan sebuah Go Card beserta saldonya seharga 1 Dinar 350 Fils. Harga itu terdiri dari 750 Fils untuk harga kartunya, sedangkan 600 Fils untuk daily trip yang bisa digunakan selama 24 jam semenjak waktu pembelian.

Sekiranya semuanya telah siap….

Aku berdiri di halte, menunggu kedatangan airport bus menuju pusat kota.

Kisah Selanjutnya—->

Kuwait Airways KU 614 from Bahrain to Kuwait

<—-Previous Story

KU 614 flight route (source: https://www.radarbox.com/)

Exactly on five in the morning I started to wash my body in the bathroom of Bahrain Plaza Hotel. That day, I would leave Bahrain and heading to Kuwait. After making sure all equipments wasn’t left behind, I went down to the first floor to hand over the key and headed to the nearest bus shelter. Not far, just three hundred meters at south of the hotel, right in front of Manama Cemetery.

Ten minutes later, the bus from MAN manufacturer numbered A1 arrived. Entering from its front door and tapping Go Card to pay the fare worth BHD 0.300, I drove to Bahrain International Airport for the next a hour.

Arriving at the airport on 07:45 hours, I went straight to 1st floor. Its check-in area wan’t better than the same counter owned by Halim Perdanakusuma Airport (second airport in Jakarta). The flight number which didn’t appeared yet on the Departure Hall LCD gave me time to exchange the remaining Bahraini Dinar (BHD). Apparently the money changer on the 1st floor didn’t want to accept small amount of Dinar, fortunately the Bahrain Financing Company (BFC) on the 0th floor was still willing to accept it.

On 9:30 hours, the check-in counter for Kuwait Airways flight KU 614 began to open. I briefly explained that I was going to Qatar with two non-connecting flights and would transit in Kuwait. The young male staff only once asked me about the Qatar Visa. “Qatar visa is free for Indonesian, Sir“, I answered to ending the conversation and he gave two tickets with the blue bird logo at once. The ticket itself I ordered on nine months before departure.

Kuwait Airways was the 27th airline which I boarded.

Smoothly passing through the immigration counter, I immediately headed to Gate 15 which was located in the corner of departure waiting hall with a narrow hallway which connects to the aerobridge. Waiting for boarding time, I continued to observe the flow of Gulf Air, a well-known airline belonging to the Kingdom of Bahrain.

Departure waiting room.

A little late, I started boarding on 11:51 hours. Couldn’t wait to experience the first time flying with Kuwait Airways, the airline belonging to the Kingdom of Kuwait.

Late for a hour.
Business Class.
Economy Class.

Immediately took a seat as stated on the boarding pass and preparing for a short flight of 420 km which would be covered in 1 hour 10 minutes.

Seat number 17A was where I sat.
Thank you 12Go for being an Affiliate Partner for travelingpersecond.com.
Alburaq inflight magazine.

It appeared that some of the airline’s aircrew were from the Philippines and some from African region. During the flight, I noticed that alcohol bottles weren’t visible on food trolley, it looked like the Kuwait Airways flight was an alcohol-free flight…..It was cool.

Watching “The Martian“.
The Low Fat Meal (LFML) menu which I ordered together with the ticket order.

That afternoon the air on the southwest bank of Persian Gulf was clear. This made my flight felt very smooth, with no turbulence at all. Nice flight.

Sunny weather in early January.
How did the feel, flying with Middle East people?.

DIn the last quarter of flight, the plane began to lower and revealed the land of Kuwait which looked arid and hot. I myself couldn’t wait to get to know Kuwait International Airport which was the main hub of Kuwait Airways.

Middle East mainland which typical sandy brown.
Busyness at Terminal 2 Expansion Project.
Kuwait city view.

The time was 13:35 hours. After the plane came to a perfect stop, I immediately left the fuselage for Transit Hall of Kuwait International Airport. I would patiently wait until four o’clock on the next morning to heading to Qatar.

A320-251N Neo Generation of Airbus

Next Story—->

Kuwait Airways KU 614 dari Bahrain Ke Kuwait

<—-Kisah Sebelumnya

Rute penerbangan KU 614 (sumber: https://www.radarbox.com/)

Tepat jam lima pagi aku mulai mengguyur badan di kamar mandi Bahrain Plaza Hotel. Hari itu juga, aku akan meninggalkan Bahrain dan menuju ke Kuwait. Setelah memastikan segenap perlengkapan tak tertinggal, aku turun ke lantai satu untuk menyerahkan kunci dan menuju ke shelter bus terdekat. Tak jauh, cuma tiga ratus meter di selatan hotel, tepat di depan Manama Cemetery.

Sepuluh menit kemudian Bus asal pabrikan MAN bernomor A1 tiba. Masuk dari pintu depan dan men-tap Go Card untuk membayar tarif senilai Rp 12.000, aku meluncur menuju Bahrain International Airport selama satu jam ke depan.

Tiba di airport pada jam 07:45, aku langsung menuju ke lantai 1. Area check-in yang tak lebih elok dari konter yang sama milik Halim Perdanakusuma Airport. Nomor penerbangan yang tak kunjung muncul di LCD Departure Hall, membuatku memiliki waktu untuk menukar Bahraini Dinar (BHD) tersisa. Rupanya money changer di lantai 1 tak mau menerima Dinar dalam jumlah kecil, beruntung Bahrain Financing Company (BFC) di lantai 0 masih mau menerimanya.

Jam 9:30, konter check-in untuk penerbangan Kuwait Airways KU 614 mulai dibuka. Kujelaskan singkat bahwa aku akan menuju Qatar dengan dua non-connecting flight dan akan transit di Kuwait. Staff pria muda itu hanya sekali bertanya kepadaku perihal Visa Qatar. “Qatar visa is free for Indonesian, Sir”, jawabku mengakhiri percakapan dan dia memberikan dua tiket berlogo burung biru sekaligus. Tiker sendiri aku pesan 9 bulan sebelum keberangkatan.

Kuwait Airways adalah maskapai ke-27 yang kunaiki.

Melewati konter imigrasi dengan mulus, aku segera menuju ke Gate 15 yang berlokasi di pojok ruangan dengan selasar sempit yang terhubung ke jalur aerobridge. Menunggu waktu boarding, aku terus mengamati lalu-lalang Gulf Air, maskapai kenamaan milik Kerajaan Bahrain.

Ruang tunggu keberangkatan.

Sedikit terlambat, aku mulai boarding pada jam 11:51. Rasa tak sabar menggelayuti hati untuk merasakan pertama kalinya penerbangan Kuwait Airways, maskapai milik Kerajaan Kuwait.

Satu jam terlambat.
Business Class.
Economy Class.

Segera mengambil tempat duduk sesuai yang tertera di boarding pass dan mempersiapkan diri untuk penerbangan pendek sejauh 420 km yang akan ditempuh dalam waktu  1 jam 10 menit.

Bangku nomor 17A yang kududuki.
Terima kasih 12Go sudah menjadi Affiliate Parner untuk travelingpersecond.com.
Alburaq inflight magazine.

Tampak bahwa beberapa aircrew maskapai ini berkebangsaan Philippines dan beberapa dari kawasan Afrika. Selama penerbangan, kuperhatikan botol-botol minuman beralkohol tak nampak pada food trolley, sepertinya penerbangan Kuwait Airways adalah penerbangan bebas alkohol….. Keren.

Menonton “The Martian”.
Menu Low Fat Meal (LFML) yang kupesan bebarengan dengan pemesanan tiket.

Siang itu udara di tepian barat daya Teluk Persia tampak cerah. Hal ini menjadikan penerbanganku terasa sangat mulus, tanpa turbulensi sama sekali. Penerbangan yang menyenangkan.

Cuaca cerah di awal Januari.
Berasa gimana gitu, terbang bersama warga Timur Tengah.

Di seperempat terakhir mengudara, pesawat mulai merendah dan menampakkan daratan Kuwait yang tampak gersang dan panas. Aku sendiri tak sabar ingin segera mengenal Kuwait International Airport yang menjadi mainhub Kuwait Airways.

Daratan Timur tengah yang khas coklat berpasir.
Kesibukan di Terminal 2 Expansion Project.
Penampakan kota Kuwait.

Waktu menunjukkan jam 13:35. Selepas pesawat berhenti sempurna, aku segera meninggalkan badan pesawat menuju ke Transit Hall Kuwait International Airport. Aku akan bersabar menunggu hingga pukul empat pagi di keesokan harinya untuk menuju Qatar.

Airbus generasi Neo A320-251N

Kisah Selanjutnya—->