Lion Air JT 715 dari Pontianak (PNK) ke Jakarta (CGK)

Usai Shalat Subuh aku kembali merebahkan badan di kasur empuk G-Hotel Pontianak. Hari itu akan menjadi hari terakhirku di Pontianak. Sore hari sekitar pukul tiga sore aku akan terbang kembali ke Jakarta.

Maka tepat jam dua belas, bersamaan dengan waktu check-out dari hotel, aku akan meluncur menuju Supadio International Airport.

Dan kali ini jejak Koh Hendra belum selesai, karena dia akan mengantarkanku menuju bandara. Padahal aku sudah menolak halus usai dinner semalam. Tetapi Koh Hendra merasa gak enak sama adiknya yang merupakan pimpinanku di tempat kerja jika tak mengantarkanku pulang menuju bandara. Walhasil, aku pun menerima tawaran itu dengan senang hati, kan aku ga perlu pesan transportasi online menuju bandara….Lebih hemat kan tentunya.

Usai berbasuh aku menyempatkan diri untuk bersarapan dengan Pengkang yang semalam terbeli di Pondok Pengkang. Dua potong Pengkang ternyata cukup menjadi pengganti menu sarapan yang sengaja tak kupesan sebagai komplemen kamar di hari terakhirku di Pontianak….Sedikit berhemat.

Menjelang tengah hari aku telah selesai berkemas dan bersiap menuju bandara. Aku duduk di salah satu sofa lobby milik G-Hotel usai check-out dan tak berapa lama Koh Hendra menampakkan batang hidungnya di pintu lobby. Waktu pulang telah tiba….

Dalam perjalanan, aku kembali menjadi pendengar yang baik atas cerita-cerita Koh Hendra. Dia bercerita mengenai asal nama Pengkang yang sebetulnya berasal dari kata “Panggang” yang kemudian warga keturunan tak begitu fasih mengucapkannya sehingga keluarlah nama “ Pengkang”.

Selain itu, Koh Hendra bercerita tentang suka dukanya menjadi ketua paguyuban ojek online di Pontianak. Perjalanan menuju bandara itu juga diwarnai dengan adanya insiden kecelakaan yaitu jatuhnya sepeda motor di depan mobil yang dikemudiakan Koh Hendra. Beruntung kedua pengendaranya selamat. Hanya saja sedikit membuat kemacetan sesaat.

Kurang dari jam satu siang aku tiba di bandara. Saatnya berpamitan dengan Koh Hendra. Memasuki departure hall, aku segera menuju konter check-in. Sempat menunggu beberapa saat hingga konter check-in dibuka, akhirnya aku mendapatkan boarding pass.  Setelahnya aku menyempatkan shalat jama’ sebelum menuju ke gate.

Menjadi imam bagi beberapa petugas Aviation Security akhirnya aku menyelesaikan kewajiban shalat dan segera beranjak menuju gate.

Aku akan dijadwalkan terbang dari Gate 3. Mengingat aku akan tiba di Jakarta sore hari maka kuputuskan untuk membeli beberapa makanan kemasan sebagai bekalku nanti pulang dari Soetta ke Kampung Rambutan.

Satu jam lamanya aku menunggu, akhirnya waktu boarding pun tiba….

Melalui aerobridge, aku menuju kabin dan mencari keberadaan bangku bernomor 33F sebagai tempatku duduk. Kali ini aku akan terbang Bersama Boeing 737-800 (twin jet). Pesawat akan menempuh perjalanan udara sejauh 732 Kilometer dan kecepatan rata-rata 650 km/jam. Perjalanan ini sendiri akan memakan waktu 1 jam 10 menit.

Tak perlu menunggu waktu lama bagi JT 715 untuk airborne dan memasuku cruise phase. Cuaca pada pernerbangan kali ini berlangsung dalam kondisi yang sangat cerah dibandingkan dengan keberangkatanku beberapa hari lalu.

Aku dan Koh Hendra.
Bersiap take-off.
Airborne di atas kota Pontianak.
Indah banget kan?….
Gugusan pulau di sepanjang penerbangan.
Di atas awan.
Bersiap landing di Soekarno Hatta International Airport.
Thanks Lion Air.

Dari udara aku bisa melihat dengan jelas gradasi menarik warna biru pantai Belitung. Juga bisa melihat dengan jelas Pulau Karimata dengan jernihnya.

Perjalanan yang sedetikpun aku tak mampu memejamkan mata saking indahnya pemandangan akhirnya mengantarkanku mendarat dengan mulus di landas pacu Soekarno Hatta International Airport.

Setibanya di bandara, aku segera berburu bus DAMRI demi menuju Terminal Kampung Rambutan.

Akhirnya aku pulang.

TAMAT

Tukang Foto Keluarga di Rumah Adat Melayu

UP2U Food Court.

Aku baru saja usai menunaikan Shalat Maghrib di dalam kamar bernomor 319 milik G-Hotel Pontianak untuk kemudian waktu biologis makan malamku pun tiba tepat waktu….Aku kelaparan.

Aku memutuskan untuk segera turun ke lobby dan mencari tempat makan terdekat dari hotel. Berjalan menuju timur akhirnya aku menemukan sebuah food court yang menyediakan banyak pilihan. Adalah UP2U Food Court yang menyediakan beberapa outlet kuliner di dalamnya, seperti MEAET, ToriFuru, Sumo Squid, Ayam Gepuk Djogja, Tarohouse dan lainnya.

Tanpa pikir panjang, aku segera memasukinya dan segera berburu menu yang cocok dengan seleraku malam itu. Puas berkeliling, akhirnya aku memesan sate cumi dengan sambal terasi untuk kemudian kusantap di sebuah meja di pojok food court yang cenderung jauh dari kerumunan pengunjung.

Dan di akhir cerita, makan malam itu aku tutup dengan membeli segelas jus mangga di sebuah kedai “Aroma Jus” yang berlokasi di samping timur hotel.

—-****—-

Pagi kembali tiba……

Dari semalam aku sudah menetapkan rencana untuk mengunjungi Rumah Adat Melayu dan Rumah Radakng di daerah Sungai Bangkong yang berjarak hampir empat kilometer di sebelah barat G-Hotel Pontianak.

Tak ada pilihan yang lebih baik tentunya selain memesan transportasi online menuju ke sana. Oleh karenanya sehabis sarapan di restoran hotel aku segera mengambil duduk di lobby untuk berburu trasnportasi online melalui aplikasi.

Tak lama kemudian….transportasi online itu datang. Usai mengonfimasi tujuan aku segera naik dan meluncur ke tujuan.

Tetapi memang dasar kebiasaanku yang lebih suka berjalan kaki, maka dalam perjalanan kali ini aku hanya memesan transportasi online ini hingga di Kantor Pertanahan Kota Pontianak. Dari kantor itu aku memutuskan untuk berjalan kaki ke tujuan akhir.

Ternyata ideku tak berjalan mulus. Begitu aku turun, hujan gerimis datang. Beruntung aku menyimpan sebuah payung lipat di dalam folding bag sehingga perjalananku menuju tujuan akhir tak tertunda.

Aku terus melangkah di sepanjang Jalan Sultan Abdurrahman dan berlanjut ke Jalan Sultan Syahrir. Ketika sebagian besar pengendara motor menghindari gerimis dan memilih berteduh justru aku berasyik ria berjalan kaki menggunakan payung yang kubawa dari rumah. Tak sedikit dari mereka yang akhirnya memperhatikan tingkah lakuku di sepanjang jalan yang sering berfoto selfi dan mengambil beberapa foto di spot kota yang menarik.

Aku akan memulai eksplorasi kali ini dari Rumah Adat Melayu.

Setelah berjalan sejauh satu setengah kilometer, aku tiba di Kompleks Perkampungan Budaya. Terdapat dua rumah adat di kompleks ini, yaitu Rumah Adat Melayu dan Rumah Radakng khas Suku Dayak.

Dimulai dari bagian luar, tepatnya di sepanjang trotoar di depan rumah adat ini dihiasi dengan tiang-tiang lampu berbahan kayu penuh ukiran yang membuat suasana semakin kental dengan budaya Melayu. Pintu gerbangnya pun dibuat anggun dengan ukiran khas Melayu

Bentuk rumah balai dalam adat Melayu melambangkan falsafah gotong royong dan kesetiakawanan sosial. Rumah Adat Melayu ini selain berfungsi sebagai tempat tujuan wisata, juga berfungsi sebagai pusat acara adat dan sebagai tempat musyawarah bagi Majelis Adat Budaya Melayu.

Rumah adat berusia 17 tahun ini memiliki bentuk yang anggun dengan model rumah panggung dan memiliki atap Lipat Kajang dengan kemiringan yang curam. Berwarna dasar kuning khas Melayu yang melambangkan kejayaan.

Sedangkan di halaman Rumah Adat Melayu tampak beberapa patung lelaki Melayu yang sedang mengeluarkan jurus dalam pencak silat yang merupakan kesenian bela diri khas Melayu. Tepat di depan rumah terdapat Meriam tunggal berukuran besar. Sedangkan tanaman-tanaman hias tampak membuat suasana semakin asri di halamannya.

Aku menyempatkan diri mengelilingi rumah adat ini walaupun tidak bisa memasukinya karena tidak dibukanya akses masuk.

Melintas di depan Pontianak Convention Centre.
Bagian terluar dari Rumah Adat Melayu
Tampak depan.
Halaman berhiaskan meriam besar.
Salah satu sculpture di Rumah Adat Melayu.

Sebelum meninggalkan area Rumah Adat Melayu, aku bertemu dengan satu rombongan keluarga asal Bandung yang sedang kesusahan mengambil foto dengan tripod. Oleh karenanya , aku berinisiatif untuk membantu mengabadikan foto mereka di halaman utama Rumah Adat Melayu ini.

Kiranya kunjungan ke Rumah Adat Melayu telah usai, saatnya bergeser ke sebelah barat. Terdapat satu lagi rumah adat di Kompleks Perkampungan Budaya ini.

Tertegun di Gereja Katedral Santo Yosef, Terpikat di Pusat Souvenir Pontianak

Parit buatan Kolonial Belanda di sepanjang Jalan Diponegoro dan Jalan H Agus Salim.

Bebarengan dengan mulai beranjaknya beberapa pengunjung meninggalkan Warung Kopi Asiang, aku pun menyeruput kopi tersisa di cangkir untuk kemudian bangkit berdiri dan menuju meja kasir. Setengah jam lagi warung kopi itu memang akan segera ditutup.

Lebih sedikit dari jam setengah lima sore aku beranjak pulang menuju hotel. Terpaan surya yang tak lagi menyengat mendorongku untuk kembali berjalan kaki menjelajah jalanan kota. Tanpa ragu aku bergerak menuju utara, kali ini aku akan berjalan kaki sejauh 1,5 kilometer.

Aku mulai melangkah menyeberangi parit yang memisahkan ruas Jalan H. Agus Salim di selatan dan Jalan Diponegoro di utara. Parit selebar 20 meter itu tampak bersih walaupun airnya menghitam, sedangkan beberapa titik di badan parit dipergunakan oleh pedagang utuk mendirikan tenda kuliner.

Meninggalkan area parit, aku memasuki Jalan Antasari yang di kiri-kanannya dijejali oleh ruko komersil. Ketinggian deretan ruko itu kumanfaatkan untuk berlindung dari terpaan surya yang sudah tergelincir di ufuk barat.

Belum juga tiba di ujung jalan, pada sebuah perempatan yang dipotong oleh Jalan Ir. H. Juanda, aku terhenti karena melihat sebuah bangunan ikonik di ujung timur. “Seperti bangunan gereja”, gumamku dalam hati.

Rasa penasaran itu menuntunku untuk merubah haluan demi menujunya. Tak lebih dari 150 meter dari tempatku berbelok, aku akhirnya sampai di depan bangunan. “Gereja Katedral Santo Yosef”, begitu aku membaca nama bangunan yang terpampang di halamannya.

Gereja Katedral Santo Yosef.

Bangunan gereja yang modern menunjukkan bahwa gereja ini belum lama mendapat sentuhan renovasi. Satu tengara penting yang masih kuingat sampai sekarang adalah keberadaan patung Santo Yosef berukuran besar di atas gereja. Di bawah patung itu terdapat empat jam besar yang mengarah ke empat arah berbeda.

Menyandang status sebagai gereja katedral dalam masa lebih dari satu abad menjadikan gereja ini menjadi landmark penting Kota Pontianak.

Puas menikmati keindahan gereja, aku pun melanjutkan langkah menuju hotel. Aku bergegas dan melangkahkan kaki dengan cepat dengan harapan segera tiba di hotel. Tetapi alih-alih menyingkat waktu, langkahku malah terhenti kembali karena keberadaan pusat penjualan souvenir dan buah tangan di sisi timur Jalan Patimura.

Kompleks PSP (Pusat Souvenir Pontianak) itu menghampar sepanjang 200 meter. Aku memang tak berniat membeli oleh-oleh apapun, tapi sempat berfikir bahwa tak ada salahnya untuk mampir dan melihat-lihat.

Kusempatkan selama lima belas menit untuk mengeksplorasi kompleks perbelanjaan souvenir yang menampung tak kurang dari 30 gerai souvenir yang menjual beraneka ragam makanan kemasan, aksesoris dan cendera mata khas Pontianak.

Mencoba masuk ke salah satu gerai yang penjualnya sedang sibuk melayani pembeli, aku berhasil melihat dengan leluasa berbagai jenis cendera mata yang umumnya dijual di kompleks ini.

Cendera mata yang dijual di Pusat Souvenir Pontianak.
Souvenir khas Pontianak.
Talawang, tameng khas Suku Dayak.
Senja di depan G-Hotel.

Mengambil beberapa gambar di Kompleks PSP, rasanya cukup bagiku untuk menyudahi eksplorasi singkat itu. Aku kembali melanjutkan langkah hingga ujung Jalan Patimura, kemudian berbelok ke barat di Jalan Jendral Urip, jalan dimana G-Hotel tempatku menginap berada.

Lewat sedikit dari pukul lima sore aku tiba di hotel. Masih ada waktu untuk menunaikan shalat jama’ sebelum masuk waktu maghrib.

Tiga Malam di G- Hotel Pontianak

<—-Kisah Sebelumnya

Aku tiba dari Singkawang tepat pukul lima sore.
Lobby G-Hotel Pontianak.

Aku disapa dengan ramah oleh security yang berjaga di depan lobby. Membuatku bersiap diri untuk merasakan hotel kelas wisatawan. Maklum selama ini aku lebih sering menginap di hotel kelas backpacker.

Sehari sebelum berangkat menuju Pontianak, aku memesan hotel ini melalui sebuah e-commerce penginapan ternama seharga Rp. 212.000 per malam. Kali ini aku kan menikmati perjalanan jauh pertamaku semasa pandemi.

“Reservasi online atas nama  Donny Suryanto, kak”, aku bertanya kepada resepsionis wanita yang berjaga.

“Sebentar ya, pak…Saya cek dahulu”, dia mulau menjelajahi desktopnya, “Menginap untuk tiga malam ya, Bapak Donny Suryanto”.

“Yupzz, benar kak”, aku mengangguk

Usai menyelesaikan administrasi, aku diantarkan oleh seorang staff pria menuju kamar. Aku sempatkan berbincang dengannya di lift. Informasi yang kutangkap adalah staff muda itu berasal dari Solo dan terdampar di Pontianak karena mengikuti ayahnya yang bertugas sebagai tentara. Aku pun memberikan informasi kepadanya bahwa aku adalah pengembara yang manjalani hobby menulis.

Keluar dari lift, aku sudah berada di lantai 3 dan dihantarkan oleh staff hotel tersebut hingga di depan pintu kamar bernomor 319.

Usai staff tersebut undur diri, aku mulai memasuki kamar, menaruh backpack, mencuci muka dan bersiap kembali melakukan eksplorasi menjelang gelap. Aku bermaksud untuk menghabiskan malam di tepian Sungai Kapuas.

Koridor kamar di Lantai 3.
Tempatku beristirahat.
Teman di malam hari.

Perjalanan itu akan kuceritakan nanti saja ya.

Kembali ke G-Hotel….

Saat pagi tiba, aku biasa turun ke lantai 1 untuk berburu sarapan di restoran hotel. Kondisi yang masih berstatus pandemi, membuatku selalu turun ke lantai 1 sepagi mungkin demi menghindari padatnya pengunjung restoran yang tentunya itu akan menimbulkan resiko.

Walaupun aku senantiasa memantau di dalam aplikasi PeduliLindungi bahwa kasus aktif COVID-19 di daerah aku menginap adalah nihil, tetapi aku tetap berusaha menjaga protokol kesehatan. Tentu akan menjadi lebih repot apabila aku terpapar dan harus menjalani isolasi di Pontianak….Bisa lebih boros lagi kan?

G-Hotel merupakan hotel berbintang tiga yang berlokasi tepat di pusat kota, di sisi Jalan Jendral Urip tepatnya, di daerah Tengah, Pontianak Kota. Hotel ini juga kunilai strategis apabila diukur jaraknya dari destinasi wisata unggulan karena hanya berjarak satu kilometer di barat Taman Alun Kapuas yang merupakan viewpoint terbaik menikmati pesona Sungai Kapuas. Jarak sejauh itu bisa ditempuh dengan berjalan kaki selama seperempat jam saja.

Apa hal menarik lainnya?

Nah, apabila aku bosan dengan makanan hotel maka di sekitar Jalan Jendral Urip juga terdapat “UP2U”food court serta kedai kopi “Kopi S’Kampoeng” .  Aku sendiri berkesempatan bersantap di dua kedai itu.

Restoran G-Hotel Pontianak.
Kedai kopi di sekitaran G-Hotel.

Tentu menginap di G-Hotel Pontianak telah menjadi sebuah pengalaman tersendiri selama berpetualang di masa pandemi. Mungkin di masa-masa mendatang, kondisi yang selalu tak menentu seperti ini akan mempengaruhi bahkan merubah gaya travelling yang selama ini aku jalani dengan cara layaknya cowboy.

Kita lihat saja nanti, apakah memang benar demikian?….

Mari kita lanjutkan perjalanan menelusuri keindahan Pontianak….

Kisah Selanjutnya—->

Taksi dari Singkawang ke Pontianak: Kembali ke Awal

<—-Kisah Sebelumnya

Eksplorasiku di Singkawang harus usai lebih cepat. Menjelang tengah hari, aku mempercepat langkah menuju penginapan untuk bebenah. Seperti jalur pulang semalam, aku kembali melahap ruas Jalan Niaga, Jalan Kepol Mahmud dan Jalan Pasar Turi dengan cepat dan tanpa sekalipun berhenti walau hati tetap ingin mengambil foto di beberapa titik menarik.

Aku tiba di penginapan tepat satu jam sebelum keberangkatan ke Pontianak. Berbasuh dan melakukan packing dengan cepat, maka aku tiba di lobby hotel tepat waktu. Dengan segera aku menyerahkan kunci dan resepsionis wanita yang berjaga mengembalikan uang deposit kepadaku.

Terimakasih Hotel Sahabat Baru yang telah menjadi persinggahan murah nan ramah bagiku selama berada di Singkawang.

“Bang Bagus, sudah sampai mana?”, aku menelpon pengemudi taksi yang sudah kukenal semenjak menginjakkan kaki di Pontianak.

“Lima belas menit lagi sampai hotel, Bang….Mohon ditunggu ya!”, Bang Bagus menjelaskan singkat.

Aku tak melanjutkan percakapan karena faham bahwa dia sedang berada di belakang kemudi.

Sementara itu, perut lapar yang kurasakan belum juga mendapatkan solusi. Dari resepsionis hotel aku mendapatkan informasi bahwa kantin hotel tidak menjual makanan dan sementara itu, Yess! Coffee & Dessert yang berada lima puluh meter di selatan hotel juga tampak belum membuka diri.

“Sudahlah aku akan menahan lapar untuk sementara waktu”, aku memutuskan beberapa saat sebelum Agya merah yang dikendarai Bang Bagus tiba di depan lobby.

Taksi itu telah diisi oleh dua penumpang lain, berarti aku menjadi penumpang terakhir yang bergabung dalam perjalanan panjang itu.

Tanpa basa-basi, pedal gas telah diinjak kembali dan taksi perlahan merangsek meninggalkan Singkawang. Tentu aku tak akan terlalu sibuk memperhatikan atmosfer jalanan, karena aku telah melewati rute ini saat menuju ke Singkawang dari Pontianak.

Hotel Sahabat Baru di daerah Pasiran.
Hati-hati ya Bang Bagus…..

Aku lebih banyak diam menahan lapar, sementara aku faham bahwa taksi akan berhenti dua jam lagi untuk melakukan break. Aku terus mengutuk diri karena terlalu teledor tak mempersiapkan sesuatu.

Satu jam menahan lapar, aku melihat gelagat Bang Bagus yang berada di balik kemudi yang tampak gelisah karena diserang rasa kantuk. Dan hal itu membawa kabar baik tentunya, karena seperti dugaanku, dia akan berhenti mencari kopi.

Benar adanya, beberapa menit setelahnya, dia menghentikan mobil di sebuah minimarket untuk melakukan break singkat. Begitu dia keluar dari mobil, maka aku pun turut turun dan mencari pengganjal perutdi minimarket.

Usai meminum kopi dan menghisap sebatang rokok, Bang Bagus pun segera menjalankan taksi menuju Pontianak.

Dalam perjalanan ini, taksi melakukan break di Rumah Makan Putri Duyung di daerah Sungai Kunyit. Di rumah makan itu aku menghabiskan seporsi nasi sayur dan ayam seharga Rp. 28.000 sebagai pengganti makan siangku yang sudah sangat terlambat.

Rumah Makan Putri Duyung.
Suasana di belakang restoran.
Suasana sepanjang jalan dari Singkawang ke Pontianak.
Tugu Jam Sungai Pinyuh di pertigaan Jalan Jenderal Ahmad Yani dan Jalan Pontianak-Sei Pinyuh

Aku sendiri tiba di Pontianak setelah melakukan perjalanan selama lima jam dan Bang Bagus mengantarkanku hingga lobby G-Hotel yang menjadi tempat persinggahanku selama mengeksplorasi Pontianak.

Yuk, kita intip bagaiamana dalaman G-Hotel, Nih dia mukanya:

G-Hotel.

Kisah Selanjutnya—->