Pantai Ujung Genteng: Fortuner atau Pajero Sport?

Suara debur ombak mulai mengintimidasi ketika roda mobil semakin memangkas jarak menuju bibir pantai. Mungkin tampang sumringahlah yang mendominasi saat itu jikalau aku bisa melihat wajahku sendiri. Bagaimana tidak, hampir genap sebelas bulan, kedua kaki harus dibelenggu di rumah karena suasana luar yang chaos diserang virus mematikan.

Tetapi tentu ada sedikit rasa takut di ruang hati karena ini akan menjadi pertama kalinya aku akan sangat dekat dengan kerumunan. Apalagi kuperhatikan di sepanjang perjalanan, semakin dekat dengan pantai, masker-masker pun mulai menghilang dari jalanan. Mungkin saja virusnya yang takut sama asinnya air laut….Hihihi.

Gerbang pantai lamat terlihat dari ujung desa. Jalan desa yang mulus memungkinkanku membuang fokus pandangan dari jalanan untuk lebih menikmati suasana perkampungan. Beberapa bapak—bapak tampak tekun menjahit sobekan-sobekan pada jaring ikan yang mereka bentangkan di antara tiang-tiang rumah.

Hingga aku tak sadar sudah mendekati gerbang pantai. Di depan sana seorang petugas parkir tampak melambaikan tangan untuk menyambut kedatanganku dan tampak pandangannya menyapu segenap luasan lahan parkir tepi pantai untuk mencarikanku slot parkir tersisa.

Tapi kali ini aku memerankan sikap antagonis, karena dengan cepat membanting stir mobil ke kanan haluan dan menolak lambaian tangan itu. Aku memutuskan untuk terlebih dahulu menyusuri jalanan tepi laut untuk menikmati keindahan yang terbentang di sepanjang garis pantai….#isengbangetsich.

Untuk beberapa saat aku bisa menikmati aktivitas nelayan dan warga lainnya di sepanjang pantai hingga akhirnya karma itu datang. Di depanku, genangan air menghadang laju mobil. Aku yang penasaran, segera membuka pintu dan turun. Kuambil batang kayu dan kujajaki genangan air itu. “Jauh di atas mata kaki”, aku membatin sambil menggaruk-mengaruk kepala.

“Tat tet tot….Tat tet tot”, tanpa sadar dua unit mobil tertahan di belakang mobilku yang terhenti karena genangan air.

Menyusur pinggir pantai.
Pantai yang jauh dari kerumunan.

Tanpa ragu aku memberikan aba-aba ke kedua mobil itu untuk memberikanku ruang untuk mundur. Aku mengurungkan niat untuk menyisir tepian pantai lebih jauh. Seusai meminggirkan mobil yang sejajar beberapa sentimeter dari sebuah pagar tembok maka kedua mobil itu dengan santainya menerabas genangan air yang ada di depan mata. “Andaikan aku bisa membeli Fortuner dan Pajero Sport seperti itu”, batinku sembari berpangku tangan di atas kemudi mobil yang mesinnya sudah kumatikan sedari tadi.

Hmmmhhhh…….

Menyalakan mesin kembali, aku kembali ke arah semula. Tetapi aku memutuskan untuk segera turun ke bibir pantai karena tak tahan lagi dengan godaan keindahan pantai yang berada di depan mata.

Aku memutuskan berhenti di salah satu sisi pantai yang sebetulnya sudah tak jauh lagi dari area utama pantai. Kesunyian lah yang membuatku memutuskan untuk turun ke bibir pantai.

Atap pantai tak begitu cerah siang itu. Membuat panas surya tak berhasil menembus permukaan pantai dengan sempurna. Hal ini bisa membuatku leluasa berlama-lama menikmati jajaran perahu bercadik yang mengangguk-angguk diterpa gelombang di garis jangkarnya. Sementara di tempatku berdiri terasa kelembutan pasir putih dengan serakan potongan-potongan cangkang dan karang.

Menurut informasi yang kudapat dari lokasi wisata, terdapat semenanjung yang menjorok ke selatan. Semenanjung ini sejatinya dibentuk oleh pertumbuhan karang, Nah pecahan karang ini akhirnya sampai pada pasir yang berada di hadapanku.

Khusyu’ menikmati suasana, untuk kemudian titik air yang jatuh dari langit menyadarkanku bahwa sebentar lagi akan turun hujan.

Oleh karenanya, aku bergegas meninggalkan bibir pantai untuk memasuki mobil dan bergegas menuju area utama pantai untuk menikmati keindahan terakhir Ujung Genteng.

Tiba di area parkir, tanpa ba bi bu aku segera turun kembali menuju pantai. Kali ini kepadatan pantai tampak nyata. Membuatku sedikit tak percaya diri untuk turun sepenuhnya.

Ketaatan terhadap protokol, membuatku sedikit tersingkir dari kerumunan. Aku mulai menikmati saja keindahan yang berada di depan. Kali ini kelengkapan wahana begitu menjadi daya tarik para pengunjung.

Beberapa titik instagramable tampak memiliki antrian muda-mudi yang cukup panjang untuk mengabadikan diri.

Gerbang utama pantai.
Kapal bercadik khas Ujung Genteng.

By the way…..

Eh, sebetulnya kalian penasaran ga sih dengan asal usul nama Ujung Genteng?

Gaes…Ujung Genteng berasal dari nama Ujung Gunting. Hal ini dikarenakan posisi Ujung Genteng yang berada di ujung pulau Jawa bagian barat yang bentuknya mirip sebuah gunting. Area berbentuk gunting bagian bawah dinamakan Ujung Genteng, sedang area berbentuk gunting bagian atas dinamakan Ujung Kulon.

Begitulah kira-kira informasi yang kudapatkan.

Setelah beberapa lama menikmati pantai. Tetiba…….Byuuurrrr……..

Hujan jatuh ketika kau sedang asyik-asyiknya menikmati pantai. Membuatku segera menyingkir pada sebuah box non permanen yang dimanfaatkan untuk berjualan. Kebetulan deretan kedai-kedai berbentuk box itu sedang kosong sehingga memungkinkan bagiku untuk berteduh di dalamnya.

Berharap hujan segera turun, tetapi alih-alih reda malahan semakin lama semakin deras. Tampak aliran air dari jalanan mulai mengalir deras ke arah pantai. Membuatku berpikir ulang. “Ini pasti akan banyak genangan di jalanan seusai hujan deras ini. Lebih baik aku segera meninggalkan pantai saja. Toh aku sudah dua jam berada di pantai. Sudah cukup rasanya eksplorasi kali ini”, aku membatin sembari mempersiapkan diri untuk berlari ke dalam mobil di area parkir.

Saatnya pulang menuju Jakarta kembali.