Nasi Campur Gili Trawangan

<—-Kisah Sebelumnya

Aku mengembalikan snorkle yang kusewa beberapa jam lalu. Menaruhnya di etalase sewa, karena si empunya persewaan sedang tak ada di tempat.

Aku bertanya kepada seorang lokal yang sedang melintas di depan persewaan. Menanyakan keberadaan kamar bilas untuk umum. Tetapi usahaku nihil hasil. Menurutnya susah untuk menemukan tempat bilas umum di Gili Trawangan. Adapun para wisatawan yang bersnorkeling biasa membilas badannya di hotel tempatnya menginap. Memang benar adanya, di kawasan sepanjang pantai Gili Trawangan telah diakuisisi oleh bisnis perhotelan.

Akhirnya aku disarankan untuk menuju masjid agung saja jika ingin berbilas. Ide yang bagus menurutku, karena aku bisa sekaligus menjalankan ibadah shalat Dzuhur di sana.

Tetapi nanti sajalah….
Lebih baik, aku melanjutkan aktivitas bersepedaku mengelilingi gili terlebih dahulu sebelum berbilas.

Tanpa pikir panjang. Aku tak jadi berganti celana. Melainkan kembali mengenakan t-shirt lengan panjang. Masih bertelanjang kaki, untuk kemudian kembali mengayuh sepeda sewaanku menuju ke utara gili.

Menyusuri sepanjang jalan sisi pantai, aku memperhatikan beberapa lahan di pinggir pantai sisi dalam yang telah diblokade dengan pagar berpanel beton.

Tanah ini pasti sudah dimiliki para pengusaha kaya yang siap menyulapnya menjadi hotel, restoran ataupun bangunan bisnis lainnya“, aku bergumam menggeleng-gelengkan kepala. Tentunya, ini dampak dari Lombok yang telah menjadi tujuan penting bisnis pariwisata.

Tak terasa, aku telah sampai di titik terutara gili.

Keadaan berubah 180 derajat….

Jalanan berubah menjadi ruas penuh pasir. Tidak ada lagi pavling block yang tersusun rapi lagi. Pasir putih nan tebal itu membuat kayuhan sepedaku semakin berat. Memaksaku untuk turun dari sepeda dan mendorong sepeda sewaan sembari terus berjalan kaki menjelajahi gili.

Tak lama, aku hanya sanggup bertahan hingga dua ratus meter. Telapak kakiku kepanasan karena terus menginjaki pasir yang suhunya naik karena terpaan intens sinar matahari.

Tanah-tanah kosong berpagar panel beton di sisi kiri milik para pengusaha.
Jalanan berpasir di utara gili.

Aku segera memutar balik. Kembali ke arah selatan gili. Menyusuri lagi jalanan yang telah kulalui sebelumnya.

Dan akhirnya, beberapa saat setelahnya, adzan Dzuhur berkumandang dari tengah gili. Aku memutuskan untuk break sebentar dalam bereksplorasi dan kemudian mencari arah sumber suara adzan itu.

Aku mengejar lantunan adzan yang sebentar lagi lindap. Kembali mengayuh sepeda sewaan dengan cepat. Hingga akhirnya, aku menemukan masjid itu. Hanya berjarak setengah kilometer dari titik tempat aku melakukan snorkeling.

Masjid Agung Baiturrahman Gili“, aku membaca nama masjid itu.

Tanpa pikir panjang. Aku memarkirkan sepeda dan mulai mendekati gerbang masjid. Dan sungguh beruntung karena aku menemukan tempat bilas umum di dekat gerbang itu.

Aku berpaling dari masjid, bergegas menuju tempat bilas. Karena penuhnya antrian di kamar bilas yang memiliki bak mandi, maka aku memutuskan untuk menuju kamar ganti saja, tak mandi dan hanya berganti pakaian.

Ahh, air laut gili kan jernih”, aku membela diri dan merasa tak kotor setelah bersnorkeling.

Selesai berganti baju dengan cepat, aku segera bersuci dan mulai menjamak shalat di teras belakang masjid.

Seusai shalat, aku memilih relax, mengistirahatkan otot yang fatigue dengan merebahkan diri di atas karpet tebal masjid, sejenak memejamkan mata karena kantuk yang teramat sangat.

Sesaat bisa terlelap untuk kemudian terbangun karena perutku mulai lapar. Aku bangkit, meninggalkan masjid dan mulai berburu makan siang. Tapi aku kurang beruntung, harga makanan yang ditawarkan restoran-restoran pinggir pantai cukup mahal. Banyak menu makan siang yang dibanderol dengan harga lebih dari seratus ribu rupiah.

Restoran-restoran pinggir pantai.
Pelabuhan Gili Trawangan.
Nasi campur ayam di kedai makan sederhana.

Oleh karenanya, aku memutuskan untuk menuju ke arah pelabuhan. Aku yakin banyak warung makan untuk kelas pekerja di sana. Hanya warung-warung makan demikian yang biasa menyediakan makanan dengan harga murah dan terjangkau.

Beberapa saat mengayuh, aku tiba di Pelabuhan Gili Trawangan. Memelankan kayuhan, mataku terus menatap ke setiap sudut jalan untuk menemukan penjual nasi. Bersyukur, aku menemukannya seratus meter di selatan pelabuhan. Ada wanita paruh baya penjual nasi campur di sebuah kedai makan. Nasi campur itu telah dibungkus dengan daun pisang dengan berbagai macam menu di dalamnya. Nyatanya harga sebungkus nasi campur itu sangat terjangkau, hanya Rp. 10.000 per bungkus.

Bersyukur aku bisa menyantapnya siang itu…..

Berburu Penyu di Gili Trawangan

Fast boat yang merapat di Pelabuhan Gili Trawangan.

Menjelang pukul sebelas pagi, public boat yang kutumpangi perlahan merapat di Pelabuhan Gili Trawangan, perahu yang kutumpangi tepat datang bersisian dengan fast boat berkelir kuning emas yang membawa para wisatawan asing dari Pelabuhan Padang Bai di Pulau Bali. Pelabuhan Padang Bai sendiri berjarak hampir 70 km dari Pelabuhan Gili Trawangan. Perlu waktu 1,5 jam untuk melakukan perjalanan laut di antara kedua pelabuhan itu.

Fast boat itu merapat dengan elegan di dermaga yang sepertinya memang dipersiapkan untuk perahu-perahu besar sepertinya. Wajah para wisatawan asing itu tampak sumringah. Sebagian diantara mereka berseru-seru riang melihat ramainya aktivitas di sepanjang garis pantai Gili Trawangan. Seperti kebiasaan umum para wisatawan asing di Bali, mereka tampak mengenakan pakaian santai seolah hendak bersiap diri untuk melakukan aktivitas di sepanjang pantai.

Sementara itu, di sisi lain, aku mulai berjibaku demi menuruni public boat yang kunaiki. Pengemudi perahu telah mematikan dan mendongakkan ketiga mesin tempelnya. Para warga pun mulai berebut turun dari buritan. Berbagai keranjang buah, sayuran dan bahan pokok lainnya mulai diturunkan satu persatu dari geladak. Aku menunggu hingga aktivitas itu usai dan baru kemudian menuruni perahu. Karena public boat ini berlabuh tepat di pinggir pantai, maka setiap penumpang harus pandai melompat turun, menyesuaikan irama debur ombak yang menerpa pantai untuk menghindari basahnya sepatu.

Public boat merapat di salah satu pantai Gili Trawangan.

Berhasil turun, aku pun melangkah meninggalkan bibir pantai….

Mataku awas mencari tempat penyewaan sepeda karena aku ingin segera berkeliling Gili Trawangan. Aku sepenuhnya paham bahwa aturan adat di Gili Trawangan membuat setiap wisatawan tidak boleh menggunakan sepeda motor untuk berwisata.

Tetiba seorang pria muda menghampiriku dari sisi belakang.

Sepeda, Bang?

Oh, ya….Berapaan, Bang?”, aku menanggapinya serius.

60 ribu, Bang….Seharian”.

40 lah, Bang. Cuma sebentar, ga sampai sore sudah selesai”, aku menawar

Ok lah, Bang….Ambil saja….Ayo pilih aja, Bang….Ikut saya”, dia memanduku untuk melihat koleksi sepeda sewaannya.

Aku memilih sepeda berkeranjang. Lumayan, keranjang itu bisa untuk menaruh folding bag. Masak iya mau memanggul tas seharian, pegel kan?.

Pria muda itu hanya mengingatkanku untuk selalu mengunci sepeda setiap aku memarkirkannya karena sering para turis memakai sepeda sembarangan dan membawa sepeda sewaan orang lain. Walau sepeda itu tidak hilang tetapi cukup merepotkan pengelola penyewaan untuk mencari keberadaannya.

Sewaktu kemudian….

Aku mulai larut di jalanan di sepanjang garis pantai Gili Trawangan. Jalanan selebar 7 meter itu ramai dengan lalu lalang sepeda.

Tetiba kayuhanku terasa berat. Setelah kuperiksa ternyata ban sepeda yang kunaiki kempes. Aku memutuskan untuk kembali ke tempat persewaan. Setelah dicek ulang, ternyata sepedaku hanya kekurangan angin saja. Dengan sedikit memompa, masalah itu selesai dengan mudah.

Aku kembali mengayuh, berkejaran dengan beberapa cidomo*1) yang mengangkut wisatawan maupun barang-barang logistik. Di tepian jalan, jalur trotoar ramai dengan wisatawan yang memilih berjalan kaki mengeksplorasi gili*2), beberapa dari mereka tampak baru saja tiba di gili dengan memanggul backpack berukuran besar menuju ke penginapan, beberapa diantaranya bahkan hendak meninggalkan gili dengan berjalan kaki menuju pelabuhan untuk mengejar keberangkatan fast boat terdekat.

Di seberang lain jalan, berderet restoran penuh dengan wisatawan asing yang lebih memilih bersantai dengan menikmati berbagai macam jenis kuliner, baik lokal ataupun western. Deretan bar tepi pantai juga terisi dengan wisatawan yang menikmati berbagai minuman bersoda, air kelapa, juga minuman beralkohol. Menjadi sebuah daya tarik untuk mengunjunginya, karena deretan bar itu menyediakan kursi-kursi panjang yang disusun di bibir pantai sebagai tempat berjemur. Tak sedikit pula outlet open trip yang menawarkan jasa wisata ke tiga pulau utama di Gili Tramena*3).  Di spot lain, tampak para wisatawan asing sedang menjalani kursus singkat scuba diving yang dilatih oleh trainer lokal professional di kolam-kolam renang berukuran sedang milik beberapa hotel.

Cidomo di jalanan Gili Trawangan.
Situasi pantai sisi timur di Gili Trawangan.
Area unbathe di pantai timur Gili Trawangan.


Dinamika pariwisata di Gili Trawangan bergeliat luar biasa siang itu.

Maka tak terasa, tibalah aku di titik yang kutuju. Pantai itu berada tepat di seberang penginapan Villa Unggul. Kuhentikan kayuhan sepeda, mengunci sepeda di slot parkir pinggir jalan, lalu bergegas menuju tempat penyewaan snorkle.

Beruntung aku menemukan tempat penyewaan snorkel dengan harga yang cukup terjangkau, hanya Rp. 25.000 untuk sekali pemakaian sepuasnya.

Maka tak menunggu lama, aku segera berganti baju dan mulai berburu penyu. Memulai snorkling, aku takjub, perairan Gili Trawangan tampak jernih dengan dasar laut berwarna putih. Beberapa batu karang berukuran kecil tampak terlihat di sepanjang hamparan pantai. Beberapa ikan karang tampak mondar-mandir sibuk mencari makanan.

Pucuk dicinta ulam tiba, aku menemukan penyu di salah satu titik. Penyu itu berukuran sedang, masih berusia muda sepertinya. Sedang sibuk memakan rumput yang tumbuh di dasar laut.

Tak lama kemudian, turis-turis yang sedang bersenorkeling pun mendekat. Bersama-sama menikmati pemandangan langka itu, kami terus berenang mengikuti kemana penyu itu mencari makan tanpa menyentuhnya sama sekali. Membiarkan penyu itu bebas beraktivitas. Baru kali ini aku melihat penyu di habitatnya secara langsung.

Bahkan siang itu, aku berhasil menemukan dua penyu. Mengikuti kedua penyu itu berenang membuat aktivitas snorkelingku di Gili Trawangan begitu berkesan.

Jasa penyewaan snorkle.
Berburu penyu….



Dalam satu setengah jam, aku memutuskan untuk mengakhiri aktivitas snorkelingku. Aku bergegas ke arah pantai, mengembalikan snorkle yang aku sewa dan kemudian bergegas mencari tempat bilas.

Perjalananku di Gili Trawangan terus berlanjut….

Kisah Selanjutnya—->

Keterangan:

Cidomo*1) : Delman dengan roda dari ban bekas mobil ala Gili Trawangan

gili*2) : Pulau

Gili Tramena*3) : Gili Trawangan Meno Air