Kecantikan Dewi Hidup di Kumari Ghar

Adalah Raja Prithvi Narayan Shah yang pertama kali menggunakan bendera dua segitiga ketika berhasil mempersatukan semua kerajaan di Nepal pada 1768. Ya, dua segitiga pada bendera nasional Nepal itu melambangkan dua dinasti besar yang pernah ada di Negeri Seribu Dewa yaitu Dinasti Shah dan Dinasti Rana.

Aku menemukannya dimana-mana.

Please, come!….Please, come!” seorang pria menyuruhku memasuki sebuah bangunan mengkilat merah bata. Para turis Eropa beserta tour guidenya yang sepertinya telah tahu alasan mengapa mendatangi tempat ini tampak berbondong memasuki gerbang. Aku yang belum menyimpan informasi apapun, hanya mengandalkan senyuman bersahaja dari pria itu. Sebentar kemudian aku sudah di dalam.

Pria berjaket abu-abu yang berjasa menemukanku pada seorang Dewi.

Pria lain di dalam menyambutku, “Welcome to Kumari Ghar…The house of Kumari”. Kumari adalah Dewa hidup dalam mitologi Hindu bahkan Buddha. Kumari sendiri adalah istilah Sansekerta yang berarti “Putri (princess)”. Kumari dipilih oleh kepala Pandita dan dianggap sebagai reinkarnasi dari Dewi Taleju, Sang Dewi Penjaga Kota.

Mencincang daging kerbau untuk persembahan esok hari.

Aku terus menguping penjelasan tour guide kepada para pelancong Eropa itu. Konon raja terakhir Malla sering  bertemu secara rahasia dengan Dewi Taleju yang diminta untuk melindungi kerajaan. Istrinya yang curiga, pada suatu malam membututi sang Raja ketika hendak bertemu Sang Dewi. Sontak Sang Dewi murka karena keberadaannya terungkap. Tetapi Sang Dewi masih berbaik hati untuk tetap bersedia melindungi kerajaan, tetapi dengan satu syarat yaitu disediakannya seorang gadis sebagai reinkarnasi darinya. Nah, gadis inilah yang akan kulihat kali ini.

Salah satu sisi Kumari Ghar yang telah berusia 263 tahun.

Semua mata mengarah pada tiga jendela hitam di lantai teratas Kumari Ghar. Dari situlah Kumari akan dipertontonkan secara kilat. Para lelaki tegap tampak mulai menyebar ke segala sudut dan matanya tak berkedip mengawasi kami. Wajah mereka menyapu suluruh turis di pelataran, mereka berjaga jangan sampai ada sorotan video atau tangkapan kamera yang mengarah ke Kumari saat dipertontonkan nanti.

Gelisah untuk segera melihatnya.

Saatnya tiba, semua hening melihat jendela yang perlahan dibuka. Kumari belum juga keluar, aku tak berkedip karena khawatir kehilangan penampakannya yang akan singkat. Para pengawas di bawah berteriak lantang kepada pengawas di atas, entah apa yang dilaporkannya. Mungkin kondisi sudah siap untuk Kumari muncul di jendela.

Dua perempuan mengecek kembali kondisi di bawah dari atas. Sewaktu kemudian, mereka memberikan kode ke arah dalam. Sekejap kemudian, gadis cantik berbusana serba merah, bermahkota lembaran emas dengan mata ketiga di keningnya muncul di lubang jendela. Hanya sebentar, tak sampai setengah menit.

Wooouwww”, ucapan seragam yang terlontar dari para pelancong dan kemudian meraka sibuk berbisik dengan temannya masing dengan bahasa bangsanya. Sementara aku masih saja memandangi jendela yang sudah tertutup sejak tadi sambil tersenyum. Gila rasanya bisa bertemu dengan seorang Dewi yang benar-benar hidup…..Hahaha.

Seperti inilah penampakan Kumari.

Mengikuti kepercayaan, Kumari akan selesai menjadi reinkarnasi Dewi Taleju ketika mengalami menstruasi dan akan digantikan oleh Kumari baru. Kumari akan dipilih sejak berusia tiga tahun dengan persyaratan yang sangat ketat seperti tidak boleh ada bekas luka, tidak takut pada pria bertopeng yang menari di atas darah kerbau yang disembelih, tidak akan menginjak tanah selama menjadi Kumari dan hanya keluar sekali setahun dalam acara acara Bhoto Jatra yaitu festival perayaan musum hujan  sekaligus panen.

Magis ya budaya Nepal ini….Luar biasa.

Madira di Hanuman Dhoka Durbar Square

Masih pagi….Tak ragu, aku menukar Rp. 125.000 dengan tiket putih-kemerah jambuan sebagai akses menikmati sejarah Hanuman Dhoka Durbar Square.

Menapaki jalanan Layaku Marg yang keabuan berlapis andesit serta debu tipis yang dilemparkan oleh sapu lidi para petugas kebersihan, aku telah bersiap memasuki Nepal tempoe doeloe yang masih berbentuk kerajaan.

Kuil untuk menyembah “Dewi Ilmu Pengetahuan” kulewati dengan cepat untuk kemudian ku jumpai kerumunan warga yang sibuk membakar dupa, menabur bunga dan kemudian menyatukan kedua telapak tangannya di dada meghadap patung hitam enam lengan yang dipercaya sebagai perwujudan Dewa Siwa Sang Pemusnah.

Saraswati Temple.

Sementara para pedagang dupa di pelataran Indorapur Mandir membuat area itu menjadi sangat ramai dibanding area lain di Kathmandu Durbar Square. Selaras padu dengan kesibukan ratusan merpati dalam menyantap sarapan pemberian para pelancong yang sudah datang lebih dulu

Kaal Bhairav bermahkota emas perwujudan Dewa Siwa.

Lapis-lapis atap segenap kuil tampak sama dan membawaku pada nuansa rekaan Majapahit di perfilman tanah air. Atmosfer Ksatria Hindu yang sangat kental di pagi itu, mampu melemparku sejenak dari dunia yang fanatik dengan teknologi.

Biji jagung yang dijual untuk merpati.

Istana Kerajaan Malla yang kemudian dilanjutgunakan oleh Dinasti Shah adalah icon penting  di Kathmandu Durbar Square. Oleh karena dijaga patung Dewa Hanuman di gerbang depan, UNESCO World Heritage Sites ini dikenal dengan sebutan Hanuman Dhoka Durbar Square. Beberapa khalayak menyebutnya Basantapur Durbar Khsetra karena istana ini terletak di area Basantapur.

Itu gerbangnya.

Selepas gerbang maka pelataran istana nan luas menyambut. Dikenal dengan sebutan Nasal Chowk. Nasal berarti tarian, merujuk pada Dewa Siwa yang menari Tandava Nataraja  ketika menghancurkan semesta yang sudah usang. Pelataran yang mirip dengan plaza ini dikepung oleh bangunan-bangunan istana di keempat sisinya.

Bangunan putih di sisi barat istana.

Sementara di sisi selatan pelataran terpampang papan nama proyek yang didanai oleh Kementrian Perdagangan Republik Rakyat China untuk merenovasi istana yang mengalami kerusakan hebat pasca gempa tektonik yang dihasilkan dari tumbukan lempeng India dan Eurasia di Himalaya pada 2015.

Basantapur Tower Sembilan tingkat yang telah runtuh.
Ruang yang didalamnya terdapat patung Dewa Siwa yang sedang menari.
Sun Dial, penunjuk waktu sebelum ditemukannya jam.

Lalu, di sisi utara terpampang bentuk arsitektur Newar dengan jendela hijau mencolok. Berjuluk Sisha Baithak yang berfungsi sebagai ruang audiensi kerjaan. Di lantai bawah bangunan itu, terpampang deretan foto para raja. Dan dua polisi penjaga istana nampak mondar-mandir dengan senapan laras panjangnya di sekitar bangunan ini.

Dari kiri adalah King Rana Bahadur Shah (Raja Nepal ketiga) dan anaknya King Girbanayuddha Bikram Shah (Raja keempat-foto kanan)
Bersama Guard Police di Sisha Baithak sebelum meninggalkan istana.

Aku meninggalkan istana sembari melempar kata terimakasih dan sampai jumpa kepada Guard Police itu. Sontak temannya yang baru tiba berucap kepadanya dalam bahasa Nepal, kutebak berbunyi “Darimana dia berasal?”, karena polisi yang kuajak berfoto berujar singkat “Indonesia”.

Satu tips ketika berada di kawasan Kathmandu Durbar Square adalah coba pahami satu-persatu bangunan yang kamu lewati, karena setiap bangunan disana memiliki fungsi dan nilai historis yang mengagumkan.

Kembali aku menemukan bangunan unik. Sebuah kuil bertahtakan Shwet Bhairav yang diyakini sebagai perwujudan paling kuat dari Dewa Siwa. Disembunyikan dalam tirai kayu dan menunggu Indrajatra Festival untuk menampakkan diri secara penuh kepada penduduk Newar. Saat festival tiba, dari mulutnya akan di pancurkan Madira (alkohol) sebagai bentuk berkah bagi manusia.

Shwet Bhairav.

Beranjak siang….Matahari kini mulai mampu menembus setiap celah alun-alun, menghangatkan tubuhku yang sedari pagi terpapar hawa dingin. Saatnya meneruskan langkah menuju destinasi berikutnya.

Selanjutnya akan kutunjukkan kecantikan paras seorang Dewi dalam mitologi Hindu dan Buddha di Nepal.

Yuks….Ikuti aku!