Siratan Eksotis Jembatan Kahayan

Sejenak aku terduduk di sebuah taman mungil di sisi selatan Jalan Kinibalu. Memang sengaja untuk sejenak aku mendinginkan tubuh setelah sengatan surya yang masih menjadi-jadi walau waktu sudah tak lagi di puncak hari. Duduk bersama beberapa warga lokal yang sama gerahnya atas cuaca kota.

Toh di sepanjang dudukku, aku tak diam. Jemariku lincah mencari destinasi yang memungkinkan untuk kukunjungi dalam jarak dekat.

Aku hanya punya waktu kurang dari tiga jam untuk mengeksplorasi kota di hari pertama eksplorasi. Itu semua karena aku turut dalam penerbangan siang Citilink bernomor QG 452 dari ibu kota.

Jembatan Kahayan….Ya itu!”, aku memutuskan.

Jembatan kota itu bisa ditempuh dengan berjalan kaki. Berjarak tak lebih dari satu kilometer dari tempatku duduk.

Hanya perlu melangkah ke utara sekejap saja”, aku membatin yakin.

Dalam beberapa saat, aku mulai mengayunkan langkah. Energiku masih penuh, toh aku baru saja mendarat di Tjilik Riwut Airport beberapa jam lalu.

Aku mulai beranjak untuk mengikuti kontur melekuk jalanan yang mengelilingi area alun-alun kota yang tertutup rapat dengan lembaran-lembaran seng proyek renovasi.

Hingga kemudian aku berbelok ke barat di Jalan Tjilik Riwut.

Sudah dua kali aku menyebut nama Tjilik Riwut. Itu siapa ya sebenernya?

Tjilik Riwut adalah nama Pahlawan Nasional dari Palangkaraya. Sebelum menjadi Gubernur Kalimantan Tengah, dahulu kala Tjilik Riwut adalah seorang perwira Angkatan Udara yang menyandang pangkat Marsekal Pertama dan mengabdi di Korps Pasukan Khas. Beliaulah yang menginisiasi bergabungnya Borneo ke pelukan NKRI.

Kembali ke kisah eksplorasiku,

Sesuai dengan nama jalan yang siang itu sedang kutapaki, maka berdirilah sculpture Tjilik Riwut di sisi utara jalan. Ketika melihat keberadaannya, sontak aku menyeberangi jalan demi bisa berdiri tepat di bawahnya hanya demi mencari informasi apa saha mengenai Tjilik Riwut. Aku duduk berhadapan dengan sculpture itu untuk beberapa saat, sembari mengindahkan tatapan aneh para pengemudi kendaraan roda empat yang melintas tepat di sisi kiriku.

Harusnya aku memberi hormat saja kali ya, supaya para pengemudi itu semakin yakin kalau aku sedang tidak waras”, aku senyam-senyum menahan tawa atas rencana gilaku sendiri.

Aku tak bisa berlama-lama di situ,

Aku melanjutkan langkah, kali ini menyisir tepian jalan yang tak bertrotoar, membuatku harus sesekali berhenti memperhatikan laju kendaraan dari belakang hingga kemudian aku merubah haluan di Jalan Kapten Pierre Tendean.

Di titik awal jalan itu, aku sempat-sempatnya mengintip aktivitas para pekerja renovasi alun-alun kota. Aku masih penasaran, sebetulnya bangunan menjulang apa yang akan dibangun di tengah-tengah alun-alun. Tetapi tetap saja aku tak bisa menebaknya.

Sudahlah, aku harus segera mencapai jembatan itu”, aku menyerah.

Melewat Jalan Piere Tendean, aku melambatkan langkah, menikmati teduhnya trotoar di sepanjang ruasnya. Tapi di sisi lain, sejenak aku terenyuh dengan keberadaan seorang anak kecil yang sibuk mengenakan kostum badut. Sepertinya dia akan mulai aksi mengamennya di ruas jalan itu.

Oh Tuhan, anak ini sungguh tak beruntung hidupnya”, aku menatapnya iba dan refleks merogoh saku dan memberikan selembar uang kepadanya. Anak itu tersenyum hingga terlihat sepasang gigi kelincinya. Tampak lucu dan riang saja.

Terimakasih Om”, serunya kepadaku. Aku membelalakkan mata dan tersenyum kepadanya.

Waduh….Om Donny….Aku dipanggilnya begitu….Hahaha”, aku terkekeh dalam batin usai mendengar kata-kata badut cilik itu.

Aku dengan cepat meninggalkan anak itu karena pangkal jembatan sudah terlihat dihadapan.

Tak ada yang istimewa” aku sudah terburu menilai penampilan tengara kota itu.

Sudah terlanjur sampai, aku harus menaiki jembatan itu hingga tepat di tengahnya. Mungkin ada sesuatu yang akan kudapatkan.

Dari rambu-rambu yang terpasang, setiap kendaraan yang melintas di jembatan hanya boleh menggeber gas dengan kecepatan maksimum 20 km/jam saja demi menjaga keselamatan pengguna yang lain.

Nyaliku ciut ketika menaiki jembatan itu langkah demi langkah. Dasar jembatan selalu bergoyang saat kendaraan angkutan melintas. Membuatku sering berhenti karenanya.

Perlahan aku mendekati titik tengah jembatan, sempadan sungai mulai terlihat jelas. Aku semakin bersemangat melangkah, tak memperdulikan sengatan surya yang masih menyengat kulit. Sewaktu kemudian aku benar-benar tiba di tengahnya. Aku berdiri mematung menatap ke arah timur, speechless.

Di sejauh mata memandang, lekukan panjang tak berujung Sungai Kahayan tampak memikat mata. Tak kalah indah dari bentangan Musi, Batanghari, Kapuas ataupun Martapura yang pernah kusambangi.

Membentang dengan lebar lebih dari setengah kilomater. Menyematkan aura perkasa sungai itu.

Ini dia aset besar Palangkaraya”, aku membatin, masih menyedekapkan kedua tangan sembari menatapnya lekat-lekat.

Kahayan Bridge terlihat dari Taman Pasuk Kameloh.
Masjid Darul Amin tampak dari atas jembatan.
Sungai Kahayan.
Senja mulai hadir.

Sempadan sungai di sekitar jembatan terlihat sangat hidup dengan aktivitas ekonomi. Resto dan cafe apung tampak mendominasi aktivitas itu.

Sementara itu, Taman Pasuk Kameloh di sempadan sungai sisi selatan tampak hidup dengan keramaian para pengunjung yang bersiap menyambut waktu berbuka puasa.

Matahari mulai mengejar ufuknya di sisi barat. Sengatannya mulai melemah, membuat seorang photographer professional datang dan sibuk menyiapkan peralatannya di trotoar jembatan sisi seberang tempatku berdiri.

Sepertinya dia mengincar latar senja yang mulai terpendar indah”, aku memperhatikan sejenak kesibukannya memasang tripod.

Aku yang tak mau kalah keren walau memang sebetulnya telah kalah telak, mengeluarkan kamera andalan, Si “EOS M10”, demi berburu beberapa gambar terbaik dari keadaan sekitar.

Kisah Selanjutnya—->