Hunting for souvenirs on Metro Point, Manila

I still enjoyed nostalgia by enjoying a serving of Busog Meal Tuna Omelette in one of 7-Eleven outlets at Epiphanio de Los Santos Avenue side, packaging rice which became my daily food when visiting Manila four years ago. Cheap, only 32 Peso I could enjoy lunch amid the hustle and bustle of Manila.

At later, I began to climb the nearest crossing bridge. Citizen steps so quickly passed the crossing bridge, most of them didn’t escape to pay attention to me who preferred to be stop in the middle of bridge and looked at road congestion of one of its fence.

That afternoon I canceled myself to visiting Manila Baywalk, I didn’t dare to take the risk of stuck in traffic jam and left behind the plane to return to Jakarta. In an hour in the future I would only struggle around EDSA LTR station and immediately return to NAIA.

My trip on four years ago didn’t bring souvenirs, on that time Manila became my first destination before heading to Hong Kong, Macao and Shenzen. Everywhere, people usually would look for souvenirs at the end of traveling. And now Manila was my final destination of my adventure, then I decided to looking for it.

Busog Meal Tuna Omelette.
The crossing bridge towards EDSA LRT station.
Enjoying congestion in Manila.
Metro point sightings from crossing bridge.

Now my attention was fixed on a shopping centre which is right adjacent and directly connected to EDSA LRT station. I slightly stopped to watching the station, remembering when I was searched before entering that station four years ago because I was too focus in photographing each side thus raised suspicion of security. Manila was indeed a little tight in security of every important public access.

I just passed the station gate and walked into the connector towards Metro Point. The shopping centre which isn’t large enough. What I remembered that it only consisted of five floors. On the second floor there is a row of stores which are neater than counters at downstairs. Downstairs is the floor which allows me to finding souvenirs. I couldn’t explore the top floor, because there was a large outlet guarded by Security. Maybe the third floor is used for businesses which are more private and targeting certain customers.

Practically I just went around downstairs and looked for some souvenirs, fridge magnets and key chains which I would share for my friends in Jakarta.

The situation at Metro Point.
Time Zone.
The tip of floor which looked quiet.

It didn’t take long to spend every side of ground floor. Trading on ground floor was more similar to the same activity in Pasar Baru, Jakarta. Very crowded. After finding some souvenirs I finally decided to get out of shopping center and prepared to get back to NAIA and then flied to Jakarta.

Crowded counters on ground floor.
Ground floor.

I thought that my time in Manila that time had become a nostalgic transit even though it only for three hours in the middle of the city’s busy life.

Berburu Souvenir di Metro Point, Manila

<—-Kisah Sebelumnya

Aku masih menikmati nostalgia dengan menikmati seporsi Busog Meal Tuna Omelette di salah satu gerai 7-Eleven di sisi Epifanio de los Santos Avenue, nasi kemasan yang menjadi makanan sehari-hariku saat menjelah Manila empat tahun silam. Murah, hanya Rp. 9.000 sudah bisa menikmati makan siang di tengah hiruk pikuk Manila.

Sewaktu kemudian, aku mulai menaiki jembatan penyeberangan terdekat. Arus manusia begitu cepat melewati jembatan penyeberangan itu, sebagian besarnya tak luput memperhatikanku yang lebih memilih diam di pertengahan jembatan dan memandangi kemacetan dari salah satu pagarnya.

Siang itu aku membatalkan diri mengunjungi Manila Baywalk, aku tak berani mengambil resiko terjebak kemacetan dan tertinggal pesawat untuk kembali ke Jakarta. Sejam ke depan aku hanya akan berkutat di sekitaran Stasiun LTR EDSA saja dan segera kembali ke NAIA.

Perjalanan empat tahun lalu tak berbuah souvenir, kala itu Manila menjadi pijakan pertama sebelum menuju ke Hong Kong, Macau dan Shenzen. Dimana-mana, orang akan mencari souvenir di bagian akhir. Kali ini Manila adalah bagian akhir dari petualangan, maka kuputuskan untuk mencarinya.

Busog Meal Tuna Omelette kesayangan.
Jembatan penyeberangan menuju Stasiun LRT EDSA.
Menikmati kemacetan di Manila.
Penampakan Metro Point dari jembatan penyeberangan.

Kini pandanganku tertuju pada sebuah pusat perbelanjaan yang tepat bersebelahan dan terkoneksi langsung dengan Stasiun LRT EDSA. Aku sedikit berhenti mengamati stasiun itu, teringat ketika aku di geledah sebelum memasuki stasiun itu empat tahun silam karena aku terlalu asyik memotret setiap sisinya sehingga menimbulkan kecurigaan para security . Manila memang sedikit ketat dalam hal keamanan di setiap akses penting publiknya.

Aku hanya melewati gerbang stasiun itu dan beringsut masuk menuju melalui connector ke arah Metro Point. Pusat perbelanjaan yang tak cukup besar, tak lebih bagus dari Grha Cijantung. Yang kuingat hanya terdiri dari lima lantai. Di lantai kedua tersedia deretan toko yang lebih rapi daripada konter-konter yang berada di lantai bawah. Lantai bawah adalah lantai yang paling memungkinkan bagiku untuk mencari souvenir. Aku tak bisa mengeksplorasi lantai teratas, karena tampak terdapat gerai besar yang dijaga oleh security. Mungkin lantai ketiga digunakan untuk bisnis yang lebih privat dan menyasar kalangan tertentu.

Praktis aku hanya berkeliling di lantai bawah dan mencari beberapa souvenir, fridge magnet dan gantungan kunci yang akan kubagikan untuk teman-temanku di Jakarta.

Suasana pertokan di Metro Point.
Time Zone.
Bagian ujung lantai tampak sepi.

Tak membutuhkan waktu lama untuk menghabiskan setiap sisi lantai dasar. Perdagangan di lantai dasar ini lebih mirip dengan aktivitas yang sama di Pasar Baru, Jakarta. Berisik dan padat. Setelah menemukan beberapa souvenir yang kucari akhirnya kuputuskan untuk keluar dari pusat perbelanjaan itu dan bersiap untuk menuju NAIA kembali dan terbang ke Jakarta.

Crowdednya kios di lantai dasar.
Lantai dasar.

Kufikir waktuku di Manila kali ini telah menjadi transit nostalgia walau hanya berlangsung selama tiga  jam saja di tengah kesibukan kota itu.

Kisah Selanjutnya—->