Sepeda Ontel ala Pavilion Museum Rumah Kelahiran Bung Hatta

Perpaduan kuning, biru dan oranye itu sedikit ternoda dengan kelupasan cat dinding Banto Trade Centre. Tetapi bukan itu fokusnya, jabat tangan Ramlan Nurmatias dan Joko Widodo lah yang dari tadi membuatku terpana. Sepertinya Walikota dan orang nomor satu negeri ini telah sepakat perihal peletakan batu pertama proyek revitalisasi Pasar Ateh….Syukurlah, Bukittinggi sedang giat membangun rupanya.

Sementara itu, pelataran Banto Trade Centre menjadi area niagawan sayur mayur untuk menjajakan dagangan diatas gerobak dan motornya. Lalu jauh di depan sana, masih di bilangan Jalan Soekarno Hatta, plakat emas “Adipura Kencana” dijunjung oleh tiang tunggal berwarna putih. Menunjukkan bahwa kota ini diakui kebersihan oleh seantero negeri.

Sekitar dua kilometer sajalah, avku tiba di sebuah mulut gang. “Gg Komp Sabar” begitulah aksara dalam plat nama berwarna hijau yang ditegakkan berdempat dengan tiang hitam berukuran lebih besar dengan aksara putih tebal “Museum Rumah Kelahiran Bung Hatta Proklamator RI, Jl. Soekarno Hatta No. 37 Bukittinggi

Sebelas tahun Bung Hatta tinggal di rumah ini.

Adalah duplikasi arsitektur rumah aslinya yang apabila masih berdiri akan berusia 160 tahun. Sayang rumah itu telah runtuh di era 60-an, tetapi atas gagasan Ketua Yayasan Pendidikan Bung Hatta, dibangun ulanglah rumah itu.

Dibangun mengikuti lekuk aslinya, sesuai yang tergambar di memoir dan berbagai dokumentasi milik keluarga. Secara umum rumah ini juga dapat menggambarkan situasi dan kehidupan masyarakat masa lalu dan khususnya keluarga besar Bung Hatta.

Bangunan Utama

Rumah khas Bukittingi ini terdiri atas bangunan utama, pavilion, lumbung padi, dapur, kandang kuda, dan kolam ikan.

Bangunan utama sendiri terdiri dari dua lantai dan berada di bagian terdepan area rumah. Bangunan utama berfungsi untuk menerima tamu, ruang makan keluarga dan kamar tidur ibu, paman, dan kakek Bung Hatta.

Berikut sekilas pandang bilik-bilik pada kedua lantai bangunan utama:

Lantai 1.

Foto keluarga Bung Hatta.
Meja pertemuan keluarga.
Sumur.
Meja makan keluarga.

Lantai 2.

Kamar orang tua Bung Hatta, di ruangan inilah Bung Hatta dilahirkan.
Meja makan tamu.

Pavilion

Di belakang bangunan utama, dibangunlah sebuah pavilion. Bangunan tembok putih itu digunakan untuk ruang dapur, kamar tidur Bung Hatta, kamar mandi, kandang kuda dan ruang bendi. Dari ruangan kamar itulah, Bung Hatta memulai pendidikannya di Europese Lageree School (ELS) Bukittinggi. Di dalam kamar itu pula tersimpan sepeda ontel yang disebut sering dipakai Bung Hatta sehari-hari diberikan orang tuanya sejak usia 8 tahun.

Kamar Bung Hatta di dekat lumbung padi. Disebut sebagai Ruang Bujang.

Dia tinggal bersama sang kakek, Syech Adurrachman yang dikenal pula sebagai Syech Batuhampar. Sang kakek sendiri berprofesi sebagai kontraktor pos partikelir itu.

Di akhir kunjungan aku penasaran dengan profil Ma’ Etek Ayub sebagai sosok yang banyak membantu Bung Hatta dalam melanjutkan sekolah, pekerjaan beliau adalah Praktek “Dagang Waktu”. Kebingungan akan jenis pekerjaan tersebut, kuberanikan bertanya kepada seorang wanita tua yang bekerja merawat keseluruhan rumah itu.

Dapur.
Kandang kuda.
Bugi atau bendi sebagai kendaraan Bung Hatta kala sekolah.

Lumbung Padi

Selayaknya rumah-rumah zaman dahulu, saat bangsa ini masih mengalami kesulitan ekonomi. Lumbung padi adalah satu upaya untuk memastikan keterjaminan pangan keluarga.

Lumbung gedek penyimpan padi.

Usai tuntas menempuh pendidikan dasar, Bung Hatta melanjutkan pendidikan menengahnya di Meer Uitgebred Lager Onderwijs (MULO) atau sekolah menengah di kota Padang.

Kisah Selanjutnya—->

Menentang Pajak Kolonial Versi Tugu Pahlawan Tak Dikenal

Hanya ada Noah yang mendengkur tergelepar karena efek residual dari mabuk semalam di De Kock Cafe lantai 1. Aku berusaha tetap senyap untuk berguyur di shower ujung kamar. Bahkan hingga aku telah siap berkelana pun, dengkurnya tak berubah nada sama sekali.

Cafe bawah tetap terbuka lebar tanpa penjaga saat aku meninggalkan penginapan dengan kondisi setengah gelap, sepi dan dingin yang masih menusuk.

Menyusuri jalanan yang sama ketika petang kemarin berburu pesona Jam Gadang, hanya saja, kali ini hanya aku seorang diri yang terlihat sangat tergesa dalam sunyinya pagi.

Bank Nagari dan Novotel kembali kusalip begitu saja tanpa ekspresi, aku sudah melihatnya sore kemarin. Begitupun, kulewati Jam Gadang tanpa impresi. Sama, mungkin karena aku telah merenggut pesonanya sehari lalu. Aku hanya berfikir untuk segera mendaratkan langkah di sebuah taman kota.

Bank Nagari Cabang Bukittinggi.

Namun, sebelum memasuki taman, aku sedikit tertarik dengan pesona bangunan besar berwarna kuning emas. Adalah Balai Sidang Bung Hatta yang menjadi Convention Center andalan di Kota Bukittinggi.

Balai Sidang Bung Hatta.

Pukul 07:10, aku mulai memasuki taman itu, berada menjorok di bawah permukaan Jalan Istana yang ada di baratnya. Sedangkan gedung tinggi abu-abu milik Bank BNI Bukittinggi membatasi pandangan mata di timurnya.

Foto diambil dari sisi selatan.

Focal point dari taman terletak pada tugu hitam artistik di lingkaran tengahnya. Itulah Tugu Pahlawan Tak Dikenal yang didesain oleh seniman pahat asal Kota Padang Panjang, Hoerijah Adam. Nama Hoerijah Adam sendiri kemudian diabadikan menjadi nama Bengkel Bari di Taman Ismail Marzuki paska kecelakaan pesawat Merpati Nusantara jenis Vickers Viscount yang ditungganginya di Samudra Hindia.

Tugu ini dibangun untuk mengenang perlawanan para pahlawan yang tak bisa dikenali secara pasti dalam menentang Kolonialisme Belanda pada tanggal 5 Juni 1905. Perlawanan itu sendiri terjadi karena penolakan penerapan pajak pendapatan sebesar 2% untuk kaum pribumi atas segala bentuk usaha perdagangan yang dilakukan.

Tugu berbentuk lingkar ular naga.

Peletakan batu pertama dilakukan oleh Jenderal Abdul Haris Nasution pada 15 Juni 1963 yang kala itu menjabat sebagai Kepala Staff ABRI. Dan dua tahun kemudian tugu ini diresmikan.

Pada satu sisi monumen, diletakkan kutipan lantang seorang sastrawan terkenal yang juga merupakan Pahlawan Nasional Indonesia, tak lain adalah Muhammad Yamin:

Mati Luhur Tak Berkubur

Memutuskan Jiwa Meninggalkan Nama

Menjadi Awan Di Angkasa

Menjadi Buih Di Lautan

Semerbak Harumnya Di Udara

Ternyata, Bukittinggi menyimpan banyak sejarah perjuangan bangsa yang baru kuketahui setelah mengunjunginya.

Asyik ya….Jalan-jalan sembari mengenal sejarah bangsa.

Kisah Selanjutnya—->

Ontel bicycle in Pavilion of Bung Hatta Birthplace Museum

The combination of yellow, blue and orange was slightly tarnished by peeling of Banto Trade Center wall paint. But that wasn’t the focus, Ramlan Nurmatias and Joko Widodo’s handshake had stunned me. It seems that the Mayor and the number one person of my country have agreed on laying the first stone of Ateh Market revitalization project….Apparently, Bukittinggi is actively building.

Meanwhile, Banto Trade Center courtyard was be a trader area for selling vegetables on their cart and motorbike. Then far ahead, still in Soekarno Hatta Street, a golden plaque “Adipura Kencana” is upheld by a single white pole. Shows that this city is recognized for cleanliness throughout the country.

Sekitar dua kilometer sajalah, avku tiba di sebuah mulut gang. “Gg Komp Sabar” begitulah aksara dalam plat nama berwarna hijau yang ditegakkAbout two kilometers away, I arrived at an alleyway. “Gang Kompleks Sabar” were words in a green name plate which was placed on a black pole with a bigger size with thick white script “Museum Rumah Kelahiran Bung Hatta Proklamator RI, Jl. Soekarno Hatta No. 37 Bukittinggi

For eleven years, Bung Hatta lived in this house.

It is a duplication of original house architecture which if it still stands, it will be 160 years old. Unfortunately it had collapsed in the 60’s, but upon the chairman idea of Bung Hatta Education Foundation, it was rebuilt.

Built according to its original curves, according to its picture in memoirs and various family-owned documentation. In general, this house can also describe situation and past life of Bukittinggi society and especially Bung Hatta’s family.

Main Building

This Bukittingi’s typical house consists of main building, pavilion, rice barn, kitchen, horse stable and fish pond.

The main building itself consists of two floors and is at forefront of house area. The main building serves to receive guests, family dining room and bedroom of Bung Hatta’s mother, uncle and grandfather.

Here’s a glimpse of booths on main building’s second floor:

Floor 1.

Bung Hatta family photo.
Family meeting table.
Well.
Family dining table.

Floor 2.

Bung Hatta’s parents’ room, in this room Bung Hatta was born.
Guest dining table.

Pavilion

Behind the main building, a pavilion was built. This white wall building was used for kitchen, Bung Hatta’s bedroom, bathroom, horse stable and hansom cab room. From his bedroom, Bung Hatta began his education at Europese Lageree School (ELS) Bukittinggi. In his room is also stored bicycle which was often used Bung Hatta everyday. It was given by his parents since he was 8 years old.

Bung Hatta’s room near rice barn. Called as “Ruang Bujang“.

He lived with his grandfather, Syech Adurrachman, also known as Syech Batuhampar. His grandfather himself worked as a private post contractor.

At the end of my visitation, I was curious about Ma’ Etek Ayub profile as someone who helped Bung Hatta in continuing school, his profession was “Time Trade Practice”. Confused by this profession type, I asked to an elderly woman who worked to took care of this whole house.

Kitchen.
Horse stable.
Hansom cab as Bung Hatta’s vehicle to school.

Rice Barn

Like as past era houses, when this nation was still experiencing economic difficulties. Rice granaries are an effort to ensure family food security.

Rice storage barns.

After completing his primary education, Bung Hatta continued his secondary education at Meer Uitgebred Lager Onderwijs (MULO) or secondary school in Padang City.

Opposing Colonial Tax in Version of Unknown Heroes Monument

There was only Noah who snoring flounder due to residual effects of drunk last night at De Kock Cafe’s 1st floor. I tried to remain quiet to bath under shower at edge of room. Even until I was ready to wander, his snoring didn’t change at all.

Cafe’s 1st floor remained wide open without a guard when I left hotel in half-dark, quiet and still cold.

Down through same road when yesterday afternoon hunting for the charm of Gadang Clock Tower, only this time, I was alone who looked very rushed in the quiet of morning.

Nagari Bank and Novotel were once again overtaken without expression, I had seen them yesterday afternoon. Likewise, I passed Gadang Clock Tower without any impression. Same, maybe because I snatched its charm a day ago. I just thought to immediately landing my step in a city park.

Bukittinggi branch of Nagari Bank.

However, before entering the park, I was a little interested in the charm of a golden yellow large building. It is Balai Sidang Bung Hatta as mainstay Convention Center in Bukittinggi city.

Balai Sidang Bung Hatta.

On 7:10 hours, I began to enter the park which is located under Istana Street surface in west. While a gray high building which is owned by Bank Negara Indonesia (BNI) Bukittinggi limited my eyes to east.

Photo taken from south side.

Park focal point lies in an artistic black monument in its middle circle. That’s the Unknown Heroes Monument which was designed by sculpture artists from Padang Panjang City, i.e Hoerijah Adam. Hoerijah Adam name itself was later enshrined as a name of Dance Workshop in Taman Ismail Marzuki, Jakarta after Merpati Nusantara airplane accident of Vickers Viscount type which she rode in the Indian Ocean.

This monument was built to commemorate heroes resistance who couldn’t be identified with certainty in opposing Dutch Colonialism on June 5th, 1905. The resistance itself was due to application rejection of a 2% income tax for natives over all forms of trade which they undertaken.

The monument which is form of a dragon circle.

Laying of the first stone was carried out by General Abdul Haris Nasution on June 15th, 1963 who was then serving as Chief of Armed Forces Staff. And two years later this monument was inaugurated.

On one side of monument, there is a loud quote from a famous writer who is also an Indonesia National Hero, none other than Muhammad Yamin:

Noble Dead without Tomb

Deciding Soul and Leaving Name

Become Cloud in Space

Becoming Froth in Ocean

Spread Out Its Fragrant in Air

As it turned out, Bukittinggi kept a lot of history of nation struggle which I had only just found out after visiting it.

It was fun….Backpacking while getting to know about nation history.