Lion Air JT 712: Jakarta (CGK) ke Pontianak (PNK)

<—-Kisah Sebelumnya

Jalur penerbangan Lion Air JT 712 (sumber: flightaware).

Terakhir menunggang “Maskapai Singa Merah” adalah sewaktu pulang dari Tanah Minang di akhir 2018. Kala itu, sangat bersyukurnya diriku karena sempat mencicip kehebatan Boeing 737 Max 8, generasi Boeing yang pernah menjadi andalan banyak maskapai dunia sebelum akhirnya dipensiun massalkan.

Menjelang pukul delapan, seorang ground staff wanita berparas cantik dengan pakaian Cheongsam bermotifkan batik memasuki ruang tunggu di Gate D1 sembari bertutur lantang,

JT 712 tujuan Pontianak dipersilahkan boarding, persiapkan boarding pass dan identitas diri ya Bapak-Ibu“, di langkah terakhir dia membuka pintu yang mengarah ke aerobridge.

Aku bergegas menyusulnya dan menjadi pengantri terdepan. Usai menyobek boarding passku, ground staff cantik itu mengarahkanku menuju aerobridge. Menyempatkan diri menangkap beberapa aktivitas apron dengan Canon EOS, akhirnya tiba jua diriku di pintu masuk kabin.

Aku cukup faham bahwa kini diriku sedang menaiki selongsong terbang berjenis Boeing 737-800NG (Next- Generation). Boeing jenis ini sendiri adalah pesawat yang didesain sebelum keluarnya Boeing 737 MAX. Dilihat dari kondisinya, pesawat masih tampak baru, hal itu berhasil membubuhkan rasa nyaman sebelum memulai penerbangan.

Mulai memasuki kabin, aku bergegas menuju ke bagian ekor untuk mencari keberadaan bangku bernomor 32F. Aku menemukannya tepat di baris ketiga dari belakang, tepat di jendela sisi kanan. Duduk di bagian belakang setidaknya terasa lebih aman karena deret bangku didepanku serta paling belakang tampak tak berpenumpang. Hanya ada tiga pramugari muda duduk tepat di belakangku. Dugaanku, pramugari yang duduk di tengah adalah cabin crew senior karena sepanjang penerbangan dia memberikan materi training yang harus diserap oleh pramugari junior di kiri kanannya.

Sementara itu seorang wanita muda berseragam Dinas Perhubungan dominan putih tegap berdiri mengawasi tindak tanduk segenap penumpang selama boarding. Mungkinkah petugas wanita itu sedang memantau penerapan protokol kesehatan di dalam kabin.

Senangnya bisa terbang lagi.
Kapan lagi ya aku naik Air Asia?.
Bedanya cuma di masker dan kacamata photochromic neutral itu.

Genap setengah jam menyempurnakan boarding, pesawat mulai beranjak dari apron dan bersiap diri untuk lepas landas. Awak kabin dengan sigap mulai memperagakan prosedur kesalamatan penerbangan seiring dengan pesawat yang sedang taxiing.

Pesawat terus begerak menuju salah satu ujung runway untuk kemudian berbalik haluan 180 derajat demi menghadap ke panjangnya landas pacu. Begitu petugas di ATC merilis izin mengudara, maka pesawat mulai memacu kecepatan di atas landasan untuk kemudian melakukan airborne di ujung landasan yang lain.

Di atas udara, penerbangan kali ini harus menembus dominasi awan-awan putih. Tetapi walaupun demikian, beberapa pemandangan terlihat indah ketika pesawat mengudara tepat di atas Pulau Belitung, destinasi wisata andalan tanah air yang pernah kukunjungi pada akhir 2016 silam.  Selain Pulau Belitung, pesawat juga melintas di atas Pulau Serutu dan Pulau Karimata.

Hanya saja, di tengah perjalanan pesawat sedikit mengalami turbulensi ketika melintas di daerah bersih awan, mungkin karena terpaan kencang udara menyebabkannya demikian.

Cengkareng dari atas.
Cruise phase.

Menempuh jarak udara lebih dari tujuh ratus kilometer, pesawat twin jet ini mengudara dengan perkiraan kecepatan enam ratus kilometer per jam.

Satu lagi pemandangan fantastis tertampil sesaat sebelum pesawat mendaratkan roda di Supadio International Airport, yaitu terpampang lebarnya Sugai Kapuas dengan kepadatan rumah-rumah penduduk di kedua badan sungai. Bahkan sebelum pemandangan spektakuler itu tiba, pemandangan Sungai Kakap dan Sungai Pinang juga turut menambahkan pesona Pontianak ketika dilihat dari udara.

Wing flap di kedua sayap pesawat kini mulai diturunkan sebagai persiapaan pendaratan, tampak dengan jelas smoke trail yang menyembur dari ujung sayap sebagai kamlufase pendinginan udara sekitar karena bertumbukan dengan panasnya gas buang pesawat.

Dan ketika pesawat menyentuh ujung landasan, begitu terpesonanya mataku melihat gagahnya antrian pesawat tempur jenis Hawk 109/209 milik Skuadron 1/Elang Khatulistiwa. Sebuah pesona penerbangan yang mengagumkan sepanjang satu jam lima belas menit.

Mulai masuk pulau Kalimantan.
Sungai Pinang dan Sungai Kakap di selatan Sungai Kapuas.
Nah itu aktornya….Sungai Kapuas, man!
Lihat fenomena smoke condensation di sayap pesawat itu….Keren ya?
Hawk 109/209 yang selalu siap menjaga udara Nusantara.
Modernnya Supadio International Airport.
Yuk, kita lihat sisi dalam bandaranya seperti apa!

Kamu mau dong terbang ke Pontianak?

Nih sebagai alternatif, tiket pesawat dari Jakarta ke Pontianak bisa dicari di 12Go atau link berikut: https://12go.asia/?z=3283832

Kisah Selanjutnya—->

Lion Air JT 257 dari Padang (PDG) ke Jakarta (CGK)

Ini bukan pertama kali bagiku menaiki Lion Air, pernah kunaiki maskapai ini pada rute Solo-Jakarta, Jakarta-Surabaya, Jakarta-Singapura, atau sebaliknya. Hanya saja, ini adalah kali pertama pengalamanku menjajal Boeing 737 MAX 8, jenis pesawat fenomenal, yang sedang “grounded “ semenjak kecelakaan ganda, satu di Indonesia dan kedua di Ethiopia, dengan penyebab yang sama.

Aku akhirnya berhasil mengeksplore Minangkabau International Airport dalam gerimis, tapi nanti saja kusampaikan. Aku masih menyimpan sebuah petualangan repetisi ke Padang pada sebuah business trip di awal tahun 2020. Jadi harap bersabar jika ingin mengintip keotentikan Minangkabau International Airport dari blog ala kadar ini.

Drop Zone di Departure Hall Minangkabau International Airport.

Aku diturunkan tepat di depan lobby keberangkatan oleh DAMRI berukuran tiga perempat, tetapi setelahnya, aku tak segera memasuki check-in area. Aku lebih memilih mengambil beberapa gambar ketika hujan sedang merubah fasenya menjadi gerimis lembut. Kulakukan hingga beberapa gambar menjejal di kartu memori Canon EOS M10ku.

Mari segera masuk area check-in!

Penerbangan lokal yang hanya mensyaratkan tampilan booking confirmation di layar telepon pintar serta kartu identitas biru langit bernama sama, memudahkan penumpang memasuki check-in area.

Harus kusediakan kesabaran karena selepas meninggalkan konter check-in, aku akan menunggu Si “Singa Merah” datang lebih lama….Delay, gaesss!. Aku memang telah bersiap dengan kondisi itu. Bukan perkara waktu, tapi perkara terjangkaunya harga tiket maskapai ini yang menjadi prioritasku.

Setelah menaiki escalator menuju Departure Gate, aku duduk sebentar di commercial hall yang berlokasi di sebelah screening gate. Membereskan setiap perlengkapan agar sedikit rapi dan nyaman ketika memasuki kabin pesawat nanti. Sementara backpack 45L milikku memilih berdiam di lambung pesawat demi menyelamatkan payung bermotif pelangi seharga Rp. 50.000 yang kubeli di Pelabuhan Tiga Raja lima hari lalu.

Kejutan tiba, saat menuju musholla untuk menunaikan ibadah shalat maghrib, aku bersua kembali dengan Boris, Tukang Pos dari Slovakia.

Aku        :     “Hi, Boris….What happen to your flight?

Boris      :     ”Hi, Donny, It’s crazy…..Very long delay with Citilink

Aku tak lama bercakap karena Boris sudah mulai memasuki antrian menuju gate, dia terbang ke Surabaya, lalu akan melanjutkan perjalanan ke Malang begitu mendarat. Stasiun Gubeng menjadi pilihannya untuk bertolak dari Kota Pahlawan. Informasi itu kudapat ketika berbincang di jok belakang Maestro Travel lima jam silam. Yang kuamati, botol air mineral pemberianku masih utuh terselip di sebelah kiri backpacknya….Hahaha, entah bagaimana air itu lolos dari screening gate.

Setelah menunggu lama, akhirnya penerbangan JT 257 mulai memanggil penumpangnya. Aku mulai mengantri dan bersiap melakukan perjalanan menuju Soekarno Hatta International Airport dengan penerbangan seharga Rp. 563.000. Tiket ini sendiri kubeli 11 hari sebelum keberangkatan.

Melalui aerobridge, aku memasuki badan pesawat,  sebetulnya aku baru mengetahui bahwa selongsong terbang ini berjenis Boeing 737 MAX 8 setelah salah satu awak pemegang microphone menginformasikannya ketika peragaan standard keselamatan penumpang sedang dilakukan.

Selain gres, kesan pertama yang kudapat setelah duduk di salah satu window seat jenis pesawat ini adalah kelegaan dan tampilan futuristiknya. Pesawat sudah berada pada posisi terbaiknya untuk menyalakan mesin jet, pilot menunggu konfirmasi untuk segera mengudara. Beberapa menit kemudian aku benar-benar meninggalkan Padang.

Malam yang sedikit mendung membuat pesawat sedikit terguncang menubruki awan-awan rendah di langit Minang. Yang kusaksikan kemudian adalah sekuel-sekuel pertunjukan pelita bumi yang dipaksa bejeda oleh awan-awan hitam tipis sebagai bintang iklannya. Indah dan mempesonaku sebagai pengantar tidur. Detik-detik selanjutnya hanyalah

Gelap….

Geelaaap……..

Geeelaaap…………

Aku tidur berselimut rasa capek yang luar biasa setelah enam hari berkeliling tanah Sumatera. Sepertinya aku genap tidur selama 1 jam 45 menit, ekuivalen dengan waktu tempuh penerbangan itu. Terpejam sejauh 700 km lebih bersama halusnya performa pesawat milik maskapai swasta terbesar di tanah air ini.

Aku tiba di Cengkareng lewat tengah malam.
Maskapai yang telah genap mengudara selama 20 tahun.
Soekarno Hatta International Airport (CGK) adalah mainhub dari Lion Air.

Aku tiba dalam kantuk, lalu tergopoh menyetop kehadiran Bus DAMRI menuju Terminal Kampung Rambutan. Aku tiba di rumah dalam hantaran ojek pangkalan dan mensyukuri nikmat Allah atas kesempatan eksplorasi yang dianugerahkan yang menjadi bab kesekian dalam cerita perjalanan hidupku.

Saatnya menutup cerita perjalanan ke tanah Sumatera. Dan beralih ke perjalanan berikutnya.

Kemana ya????

Yes, SEMARANG…….

Bus DAMRI dari Kota Padang ke Minangkabau International Airport

Kusantap dengan lahap otentiknya cita rasa tambusuolahan usus sapi dengan telur, tahu dan bumbu di dalamnya– sebagai santap malam terakhir dalam seminggu petualanganku di tanah Sumatera. Sedikit insiden kuliner mengganggu di pertengahan kunyahan. Benda kenyal itu kufikir menjadi kesatuan dari menu tambusu….Oh, ternyata…..Itu karet gelang.

Pemilik restoran : “Sepertinya Uda nih orang jauh?

Aku                              :     “Dari Jakarta, Da

Pemilik restoran     :     “Kerja Da di Padang

Aku                              :     “Oh, ndak Da. Saya sedang jalan-jalan saja

Pemilik restoran     :     “Ohh…Habis darimana saja, Da?

Aku                              :     “Beberapa hari lalu saya keliling Medan, Toba, Siantar, Pekanbaru dan Bukittinggi, Da. Padang yang terakhir, ini saya mau terbang ke Jakarta

Pemilik Restoran    :     “Wah, mantab nih, Uda. Totalitas jalan-jalannya

Percakapan ringan itu terhenti dengan datangnya Calya hitam yang akan mengantarkanku ke pool Bus DAMRI di Jalan Hasanuddin. Dalam hujan lebat, akhirnya aku membasahi jok depan taksi online itu. Beruntungnya si pemilik sangat ramah dan tak menghiraukannya, walaupun kendaraannya adalah mobil baru yang masih menebar kuat aroma pabrik.

Jalan Hasanuddin.

Tak seperti yang kubayangkan, ternyata kemegahan pool bus DAMRI dalam mindsetku hanya diwujudkan oleh ruangan tenda terbuka yang tak lebih baik dari shelter bus kota pada umumnya.

Pool Bus DAMRI Bandara.

Aku menunggu kedatangan Bus DAMRI yang akan memindahkanku dari pusat kota Padang menuju ke Minangkabau International Airport yang jaraknya sekitar 25 kilometer dan memerlukan waktu tempuh sekitar 40 menit. Itu semua bisa ditebus dengan harga Rp. 23.500.

Sembari menunggu kedatangan bus DAMRI, aku terus mengamati permainan sepak bola ala kampung oleh anak-anak belasan tahun yang berhambur memenuhi lapangan Imam Bonjol Square untuk berpesta hujan sembari memainkan si kulit bundar.

Imam Bonjol Square.

Kondektur Bus DAMRI tiba-tiba memanggilku, “Da, ayo segera naik, kita akan berangkat!”. Aku bahkan tak menyadari bahwa bus DAMRI itu telah merapat sedari tadi.

Itu dia Bus DAMRI Bandara.

Kondisi koridor bus DAMRI yang basah menunjukkan bahwa Minangkabau International Airport pun tak luput dari guyuran hujan. Ini memberi sinyal bahwa aku tak akan leluasa mencari bahan untuk menulis konten tentang Minangkabau International Airport. Wah….Alamat, aku bisa terlewat satu konten penting.

Sepi penumpang.

AC bus DAMRI yang sangat dingin membuatku menggigil karena T-shirtku sendiri sudah terlalu lembab. Sedikitnya penumpang sore itu, membuatku tak malu untuk memutuskan untuk berganti t-shirt di atas bus. Duduk di bangku terbelakang dan tak ada yang memperhatikanku ketika bertelanjang dada….Hahaha.

Mungkin karena hujan deras, sehingga banyak orang yang enggan berada di jalanan dan lebih memilih menunda sementara hajat mereka masing-masing. Karenanyalah jalanan tampak lengang dan membuatku cepat tiba di Minangkabau International Airport.

Minangkabau International Airport.

Saatnya pulang ke Jakarta menunggang Boeing 737 MAX 8 milik maskapai “Singa Merah”.

Kisah Selanjutnya—->

Batang Arau, Jembatan Siti Nurbaya dan Boeing 737 MAX 8

Dengarkan Manusia  yang Terasah oleh Falsafah

Sesaat Katanya itu bukan Dogma

(Cukup Siti Nurbaya oleh Dewa 19, tahun 1995)

Miniatur digital kuda besi berwarna putih terus mendekat dalam aplikasi tenar. Akibatnya, payung motif pelangi harus kugerai dan sekejap kemudian kaki melangkah di trotoar. Aku bersiap memasuki Avanza putih.

T-shirt yang sudah keburu lembab, beberapa bagian backpack yang sudah terlanjur kuyup, dipadu dengan semburan hawa dingin AC taksi online membuat kondisi dudukku tak nyaman sama sekali. Semua akibat sifat maruk, ingin menghabiskan sisa waktu enam puluh menit untuk menambah koleksi destinasi. Walau sebenarnya, jika kufikir lebih dalam, itu tak terlalu penting sama sekali….Hahaha.

Driver    :     “Hujan deras gini nekad ke jembatan, Da?

Aku        :     “Iya da, penasaran doang

Driver    :     “Tapi memang, tempat itu banyak yang ngunjungin kok, Da. Pemandangan Sungai Batang Araunya rancak bana, Da

Aku :     “Nah makanya itu, Da

Sungai Batang Arau berlatar Gunung Padang di ujungnya.

Entahlah, kenapa sore itu, peristiwa gempa padang pada tahun 2009 terus menjejal kapasitas otakku. Driver terus kukorek perihal kisah dibalik tragedi itu. Apa yang terjadi setelah guncangan? Serupa apakah kepanikan sesudahnya?. Dia menjelaskan bahwa air laut telah surut kala itu, “Pertanda kami siap dihajar tsunami, Da”, ucapnya tersendat. Masyarakat telah pasrah dalam do’a, setiap orang sudah siap menghadapi akhir takdir. Beruntung bencana itu tak sungguh terjadi.

Jembatan berusia 18 tahun.

Dalam dua puluh menit, taksi online telah selesai melintas jembatan yang kutuju. Tak berhenti, tapi memilih menghabiskan putaran kecil di ujungnya dan baru kemudian menurunkanku tepat di tengah jembatan itu.

Meminjam nama wanita yang melegenda di tanah Minang, wujud jembatan ini sangat mudah terekam memori kepala. Tiang-tiang hitam kuning dengan lampu bulat warna putih susu di ujungnya, gagah mengangkangi Sungai Batang Arau yang memiliki lebar sekitaran 160 meter, berlatar perbukitan nan hijau serta berornamen perahu-perahu tradisional yang tertambat di sepanjang sungai….Sungguh molek aduhai.

Para peniaga jagung bakar tampak bersiap  diri dengan lapak mininya. Andai aku bisa bertahan hingga gelap tiba, mungkin akan kunikmati pesta kuliner jalanan di atas jembatan Siti Nurbaya itu. Sayang waktuku tak lama.

Rencana selanjutnya adalah aku akan mempercepat waktu santap malam sebelum tiba di pelabuhan udara, demi berhemat tentunya. Kupilih Warung Nasi Kapau Bandar Damar untuk mengeksekusi rencana itu. Setelahnya aku segera menuju Minangkabau International Airport, menjemput Lion Air JT 257 yang berjadwal terbang pukul 21:20.

Nanti akan kuceritakan bagaimana penerbangan pertamaku bersama Boeing 737 MAX 8, kesempatan terindah merasakan sensasi terbang bersamanya sebelum pesawat jenis ini dipensiunkan setelah kecelakaan Lion Air JT 610 yang mengharu biru di perairan Tanjung Pakis, Karawang yang disusul dengan kecelakaan serupa pada Ethiopian Airlines ET 302 di lahan pertanian kota Bishoftu,

Itulah kisah inspeksi kilatku di Jembatan Siti Nurbaya.

Kalau ke Padang, jangan lupa mengunjunginya ya !

Kisah Selanjutnya—->

Lion Air JT 257 from Padang (PDG) to Jakarta (CGK)

Flight route JT 257 (source: https://www.radarbox.com/)

This wasn’t the first time for me to ride Lion Air, I have ridden this airline on its route: Solo-Jakarta, Jakarta-Surabaya, Jakarta-Singapore, or vice versa. However, this was the first time that I have experienced to ride a Boeing 737 MAX 8, a phenomenal type of aircraft, which had been “grounded” since double accidents, the first one was in Indonesia and the second one was in Ethiopia, with the same cause.

I finally managed to explore Minangkabau International Airport in a drizzle, but I’ll tell you later. I still have a repetition adventure to Padang on a business trip in early 2020. So please be patient if you want to peek at the authenticity of Minangkabau International Airport from this travel blog.

Drop Zone in Departure Hall of Minangkabau International Airport.

I was dropped off right in front of departure lobby by DAMRI airport bus, but after that, I didn’t immediately enter to check-in area. I prefered to take some pictures when the rain was changing its phase to be soft drizzles. I did it until several pictures were catched into my Canon EOS M10 memory card.

Let’s entered to check-in area!

Local flights, which only require a flight booking confirmation display on a smartphone screen and a national ID Card with a same name, made it easier for passengers to entering check-in area.

I had to provide patience because after leaving a check-in counter, I would wait for the “Red Lion” to come longer….Delayed, guys !. I had indeed been prepared with that condition. It wasn’t a matter about time, but about affordability of airline tickets which be my priority.

Cabin.

After taking the escalator to Departure Gate, I sat for a while in commercial hall which is located next to screening gate. Tidying up every equipments, so that it were a little tidy and comfortable when entering aircraft cabin later. Meanwhile, my 45L backpack chose to stay in plane hull for keeping my rainbow-patterned umbrella which its price is USD 3,7 which I bought at Tiga Raja Harbor five days ago.

Air conditioner.

The surprise arrived, when I headed to the prayer room for Maghrib prayer, I met Boris, a postman from Slovakia.

Me         :     “Hi, Boris….What happen to your flight?

Boris      :     ”Hi, Donny, It’s crazy…..Very long delay with Citilink

I didn’t talk for long because Boris had started to enter a queue towards the gate, he flew to Surabaya, then he would continue his journey to Malang as soon as he landed. Gubeng Station was his choice to depart from “City of Heroes“. I got this information while talking in the back seat of Maestro Travel five hours ago. What I observed, mineral water bottles which I gave was still intact tucked into left of his backpack….Hahaha, how can, that water could be escaped from airport screening gate.

After waiting for a long time, finally JT 257 flight started to calling its passengers. I started to queuing up and getting ready for trip towards Soekarno Hatta International Airport with flight price for USD 41.7. I bought this ticket about 11 days before departure.

Through the aerobridge, I entered cabin, actually I just found out that this plane is a Boeing 737 MAX 8 type after one of its crew who holding the microphone informed it when demonstrated passenger safety standards.

Besides new, the first impression that I got after sitting in a window seats were its relief and futuristic appearance. Then, plane was in the best position to start its jet engine, the pilot was waiting for a confirmation to fly. A few minutes later I actually left Padang.

The slightly cloudy night made the plane slightly shaken and penetrated into low clouds in “Minang” sky. What I saw later were sequels to earth lamps show between thin black clouds. Beautiful and enchanting as a bedtime. And then….

Dark….

Dark……..

Dark…………

I slept under the cover of extreme fatigue after six days traveling around Sumatra. It looked like I slept for 1 hour 45 minutes, which was equivalent to flight time. Sleeping for more than 700 km along with the smooth performance of aircraft which was owned by the largest private airline in my country.

Landing.
I arrived at Cengkareng on past midnight.
An airline that has been in the air for 20 years.
Soekarno Hatta International Airport (CGK) is the mainhub of Lion Air.

I arrived in sleepy condition, then hurriedly stopped DAMRI airport bus which was heading to Kampung Rambutan Terminal. Then I arrived at home by a motorbike taxi and thanked to Allah for giving me an exploration opportunity which was be an umpteenth chapter in the story of my life’s journey.

It is time to close story of my journey to Sumatra Land. And move on to the next trip.

Where am I going to ????

Yes, SEMARANG…….

DAMRI Bus from Padang to Minangkabau International Airport

I ate its authentic taste of tambusuprocessed cow intestines with egg, tofu and spices in it – as the last dinner in a week of my adventure in Sumatra land. a culinary incident bothered me in mid-chewing. I thought that a chewy thing was a part of tambusu menu….Oh….it was a rubber band.

Restaurant owner : “Looks like Uda come from far away.”

Me                               :     “From Jakarta, Uda.

Restaurant owner     :     “Do you work in Padang, Uda?”

Me                              :     “Oh, no Uda. I’m just traveling.”

Restaurant owner     :     “Ohh….Where have you been, Uda?

Me                              :     “A few days ago I toured to Medan, Toba, Siantar, Pekanbaru and Bukittinggi, Uda. The last one is Padang….Now, I want to fly back to Jakarta.”

Restaurant owner    :     “Wow, this is great, Uda. The totality in traveling.

Light conversation was interrupted by Black Calya (Calya is Toyota brand in Indonesia) arrival who would take me to DAMRI Bus shelter in Hasanuddin Street. In pouring rain, I finally wet online taxi front seat. Luckily the owner was very friendly and ignored it, even though it was a new car which still had a strong factory scent.

Hasanuddin Street.

Unlike what I imagined, it turned out that the splendor of DAMRI bus shelter in my mindset was only realized by a open tent space which wasn’t better than a city bus shelter in general.

DAMRI Airport Bus shelter.

I was waiting for DAMRI bus arrival which would transfer me from Padang downtown to Minangkabau International Airport which was about 25 kilometers away and took about 40 minutes. All can be redeemed for USD 1.8.

While waiting for DAMRI bus to arrived, I continued to observe a soccer game which playing by teenagers who scattered to fill Imam Bonjol Square field for rain party while playing “the round leather“.

Imam Bonjol Square.

DAMRI bus conductor suddenly called me, “Uda, come on, get on, we’re going!” I didn’t even realize that DAMRI bus had arrived earlier.

That’s DAMRI Airport Bus.

Wet condition of DAMRI bus corridor showed that Minangkabau International Airport wasn’t spared from rain. This was a signal that I wouldn’t be free to search for material to writing a content about Minangkabau International Airport. Ahhh….I could miss an important content.

Only a few passengers

Air conditioner on DAMRI bus was so cold that it made me shiver because my T-shirt itself was too damp. A few passengers that afternoon made me not embarrassed in deciding to change my t-shirt on bus. Sitting at backseat and no one noticed me while shirtless….Hahaha.

Maybe because of heavy rain, so many people were reluctant to be on streets and prefered to temporarily postpone their own needs. Because of that, Streets were empty and made me quickly arrived at Minangkabau International Airport.

Minangkabau International Airport.

It was time to going back to Jakarta with Boeing 737 MAX 8 which is owned by Lion Air.

Batang Arau, Siti Nurbaya Bridge and Boeing 737 MAX 8

Dengarkan Manusia  yang Terasah oleh Falsafah

Sesaat Katanya itu bukan Dogma

(Cukup Siti Nurbaya by Dewa 19, year 1995)

White iron horse” digital miniature continued to approaching in a popular application. As a result, I had to open my rainbow motif umbrella and in a moment my feet stepped on the sidewalk. I got ready for entering white Avanza (a brand name of Toyota in Indonesia).

T-shirts which were already getting damp, some parts of backpack which were already soaking wet, combined with AC cold bursts of online taxi made my condition was uncomfortable at all. All due to my desire that wanted to spend the remaining sixty minutes to add my destination collection. Though actually, if I thought deeper, it didn’t really matter at all….Hahaha.

Driver    :     “Heavy rain like this, why do you impose yourself to go to the bridge, Uda?

Me        :     “Yes Uda, just curious

Driver    :     “But indeed, there are a lot of people who visiting that place, Uda. The view of Batang Arau River is very beautiful

Me :     “So that’s why, Uda

Batang Arau River has Mount Padang background at its end.

I didn’t know why that afternoon, Padang earthquake in 2009 continued to fulfill my brain capacity. I continued to investigate the driver about the story behind tragedy. What happened after earthquake shocks? What did the panic look like afterward? He explained that sea water had receded at that time. “This is a sign that we are ready to be hit by a tsunami, Uda“, he said choked up. People had resigned in prayer, everyone were ready to face the end of destiny. Luckily the disaster didn’t really happen.

18 year old bridge.

Within twenty minutes, the online taxi had crossed the bridge which I was aiming for. Not stopping, but he chose to pass a small u-turn at the end and then lowered me right in the middle of bridge.

Borrowing legendary woman name in Minang land, this bridge form is very easily recorded in memory. Yellow black poles with milky white lamps at its top, straddling Batang Arau River which has a width of about 160 meters, with green hills background and traditional ornament boats moored along the river…. Really beautiful.

Roasted corn traders seemed to prepare their mini stalls. If I could stay until dark, maybe I would enjoy a street culinary party over Siti Nurbaya bridge. Unfortunately my time wasn’t long.

The next plan is, I would quicken dinner time before arriving at airport, for saving my budget, of course. I chose “Warung Nasi Kapau Bandar Damar” to execute the plan. After that I immediately went to Minangkabau International Airport, catching Lion Air JT 257 which was scheduled to fly at 21:20.

Later, I will tell you how about my first flight with Boeing 737 MAX 8, the most beautiful opportunity to feel flying sensation with it before this aircraft type was grounded after Lion Air JT 610 crash in Tanjung Pakis waters, Karawang, Indonesia which was followed by a similar accident on Ethiopian Airlines ET 302 on farm land, Bishoftu city.

That was my quick journey story in Siti Nurbaya Bridge.

If you go to Padang, don’t forget to visit it!