Kembali ke Ruwi-Mwasalat Bus Station: Menutup Petualangan di Muscat

<—-Kisah Sebelumnya

Satu setengah jam lamanya, aku menyambangi setiap sudut Muscat Sports Club hingga matahari tergelincir menuju ufuk barat.

Waktu menunjukkan pukul setengah empat sore….

Aku pun memutuskan untuk undur diri, mengakhiri petualangan dan beranjak kembali menuju penginapan. Aku harus mengambil backpack yang kutitipkan usai check-in siang sebelumnya. Rencananya, setelah mengambil backpack, aku akan menuju bandara dan menginap di sana saat malam tiba. Itu karena penerbanganku menuju Bahrain akan berlangsung di keesokan pagi.

Melintasi coffee shop yang terletak di sebelah gerbang utama Muscat Sports Club, aku kembali turun di jalanan. Menelusuri An Nuzhah Street sisi selatan, menuju utara. Kembali menyisir jalanan yang sama ketika aku tiba di Al Wadi Al Kabeer Park dan Muscat Sports Club.

Sore itu udara sudah tak panas lagi, melainkan bertransformasi menjadi hembusan angin dingin yang membawa butir-butir pasir, membuat kulit gatal dan mata pedih ketika menerpa badan.

Tak peduli dengan hembusan angin  itu……

Entah kenapa, tetiba langkahku menjadi kikuk ketika tiba di depan Al Wadi Al Kabir Market. Aku berhenti sejenak, menatap bangunan perbelanjaan itu. Memaksa otak untuk berpikir, “Apa yang harus kupersiapkan?”.

Aku menarik dompet dari dalam folding bag, melihat isinya, setelah merasa cukup dengan lembaran Rial yang kupunya, maka aku pun tanpa ragu masuk ke dalam bangunan itu dan bergegas memasuki Lulu Hypermarket di dalamnya.

Ya….Aku menyempatkan berbelanja beberapa makanan untuk perbekalan selama di perjalanan menuju Bahrain. Perjalananku menuju Bahrain akan dimulai dengan menginap di Muscat International Airport malam itu juga dan akan tiba di Bahrain pada pukul empat sore di keesokan harinya. Itu berarti aku akan berada diperjalanan selama 22 jam.

Setelah menelusuri seisi Lulu Hypermarket selama lima belas menit aku keluar dari pasar swalayan itu dengan membawa cheese sandwich, yogurt, orange juice dan cake. Semuanya kutebus dengan harga 725 Baisa.

Lalu aku pergi meninggalkan Al Wadi Al Kabir Market dengan menenteng kantung plastik yang berisi barang belanjaan. Selepas mengunjungi Lulu Hypermarket, aku pun melangkah secepat mungkin dan berfokus menuju penginapan. Menjelang pukul lima sore, aku pun tiba di OYO 117 Majestic Hotel, tempatku menginap.

Setelah mengambil backpack di resepsionis, aku tak terburu menuju Ruwi-Mwasalat Bus Station, melainkan menuju ke kedai khas Bangladesh yang telah menjadi langgananku semenjak tiba di Muscat.

Mampir di Lulu Hypermarket.
Suasana jalanan di sekitar OYO 117 Majestic Hotel.
Tepat di tikungan menuju OYO 117 Majestic Hotel.
Makan dengan cara Bangladesh….Wkwkwkwk.
Menjelang gelap di Al Fursan Street.

Sore menjelang malam itu, aku menyantap nasi putih dengan chicken fry sebagai lauknya. Pemilik kedai itu telah paham dengan kebiasaanku selama beberapa hari sebelumnya. Dia menyuguhkanku satu potongan paha yang itu berarti menyuguhkan setengah dari porsi normal. Jadi aku hanya perlu untuk membayarnya separuh porsi saja, cara tepat bagiku untuk berhemat.

Aku pun membayar menu makan malamku dengan 250 Baisa ketika selesai menandaskan nasi di piring.

Selanjutnya aku pun kembali menelusuri Al Fursan Street. Berjalan sejauh dua kilometer dengan waktu tempuh tiga puluh menit.

Aku pun tiba di Ruwi-Mwasalat Bus Station….

Aku bersiap menuju ke Muscat International Airport

Kisah Selanjutnya—->

Muscat Club: Menguntit Sekelompok Atlet Kriket

<—-Kisah Sebelumnya

Aku meninggalkan Al Wadi Al Kabeer Park pada pukul setengah dua siang. Tentunya matahari masih menyengat kuat. Langkahku berlanjut ke arah selatan.

Sudah kepalang  tanggung….Aku akan menuju ujung selatan distrik Al Wadi Al Kabeer sekalian”, aku membatin yakin.

Aku melanjutkan petualangan melalui sisi selatan An Nuzhah Street. Sesekali aku harus berhenti di teras-teras toko hanya untuk bersembunyi sejenak dari teriknya matahari. Bahkan ketika baru berjalan sejauh setengah kilometer, aku menyempatkan diri untuk memasuki bangunan Al Wadi Al Kabir Market yang didalamnya terdapat outlet Lulu Hypermarket. Aku harus membeli dua botol air mineral karena telah kehabisan air semenjak meninggalkan Al Wadi Al Kabeer Park. Dua botol air mineral berukuran 500 ml tersebut aku tebus dengan 170 Baisa.

Setelah mendinginkan badan sejenak di ruangan berpendingin udara milik Lulu Hypermarket, aku pun melanjutkan langkah, melawan kembali panasnya cuaca Muscat. Niatanku hanya ingin mengakhiri petualangan ketika telah mengkhatamkan beberapa sudut Distrik Al Wadi Al Kabeer.

Menggandakan langkah hingga satu kilometer aku pun melintasi sebuah sekolah swasta, Ibn Khaldoun School namanya. Ketika tiba di gerbang sekolah tersebut, aku melihat sekelompok pria yang membawa cricket bat memasuki sebuah gang di sisi An Nuzwah Street. Tentu sekelompok pria yang kutebak sebagai sekelompok atlet tersebut membangkitkan rasa penasaran di hati.

Aku pun bergegas untuk mengikuti sekelompok atlet kriket tersebut. Hanya berjarak tiga ratus meter, aku akhirnya tiba tepat di depan gang dimana para atlet tadi berbelok dari trotoar.

Muscat Club…..”, begitulah aku membaca sebuah signboard di pintu gerbang stadion berukuran sedang.

Gerbang stadion itu tertutup rapat. Aku yang penasaran, tanpa ragu mendekatinya, lalu memutari stadion demi menemukan celah untuk masuk ke dalamnya. Akhirnya aku mendapat celah itu di pojok kiri dari tribun utama stadion. Maka aku pun menyelinap masuk dan kemudian mendudukkan diri di salah satu bangku tribun.

Dari tribun utama itu, aku bisa melihat dengan jelas bahwa stadion utama itu diapit oleh dua buah lapangan bola tanpa tribun di sisi utara dan selatannya.

Muscat Club….Apa itu?

Gerbang stadion.
Stadion utama untuk latihan Muscat Club.
Ini buat latihan futsal kali ya…?
Lapangan pendamping.
Lapangan untuk berlatih memukulkan cricket bat.

Muscat club sendiri adalah sebuah klub olahraga di Oman yang mengembangkan beberapa kelompok tim olah raga yaitu sepak bola, hoki, bola voli, bola tangan, bola basket, bulu tangkis, squash hingga kriket. Khusus untuk tim sepak bola Muscat Club, saat ini tim tersebut adalah salah satu kontestan dari Oman Professional League yang merupakan level tertinggi kompetisi sepakbola di Oman.

Aku baru paham bahwa sekelompok atlet yang kulihat tadi adalah tim kriket milik Muscat Club yang hendak melakukan latihan rutin. Tampak lapangan kriket beserta lajur-lajur untuk berlatih memukulkan cricket bat ada di sisi utara stadion utama, sejajar dengan lapang sepak bola pendamping.

Sedangkan lapangan hoki berada tepat di sisi selatan lapangan untuk bermain kriket.

Tentu kompleks lapangan ini hanya digunakan sebagai sarana berlatih saja buat Muscat Club, karena tim ini menggunakan lapangan milik pemerintah sebagai venue kandangnya, yaitu Sultan Qaboos Sports Complex yang terletak di Distrik Boshar.

Senang rasanya, bisa mengunjungi salah satu kompleks milik klub sepakbola ternama di Oman tersebut.

Kisah Selanjutnya—->

Al Wadi Al Kabeer Park: Kuda sebagai Pusat Perhatian

<—-Kisah Sebelumnya

Tubuhku remuk redam, hampir dari dua hari sebelumnya aku menghabiskan waktu di jalanan dan perjalanan. Otomatis fatigue segenap otot membuatku cepat terlelap dan akhirnya lambat terbangun di pagi itu. Beruntung aku masih bisa menyempatkan diri untuk menjalankan Shalat Subuh, walaupun setelahnya aku kembali terlelap di kasur empuk OYO 117 Majestic Hotel.

Pukul sepuluh pagi aku terbangun kembali dari tidur lelap….

Kemudian, aku pun berlama-lama menikmati siraman air panas di shower kamar mandi, membiarkan otot-otot betisku mendapatkan relaksasi karena aku baru akan mendapatkan kamar hotel kembali di keesokan malam ketika aku memasuki Kota Manama, Bahrain.

Setelah sadar bahwa aku berada di bawah shower lebih dari setengah jam, maka aku pun segera menyudahi mandi pagi dan mulai bersiap diri untuk melakukan eksplorasi di waktu tersisa. Aku mulai mengemasi semua barang dan perlengkapan ke dalam backpack biruku, untuk kemudian mulai meninggalkan kamar hotel.

Can me put my backpack here?. I will take it on 5 pm”, aku meminta tolong kepada resepsionis pria yang sehari sebelumnya menerima kedatanganku.

Sure, you can put your backpack”, dia pun menerima backpackku dan menaruhnya di salah satu titik ruang resepsionis.

Aku pun mulai pergi meninggalkan hotel. Kali ini tujuan pertamaku adalah mencari sarapan. Tentu aku menuju kedai khas Bangladesh yang telah menjadi langgananku semenjak tiba di Muscat. Kedai itu hanya berjarak seratus meter dari hotel, sehingga dengan cepat aku mencapainya.

Pagi itu aku mencicipi menu baru, tidak lagi nasi seperti hari-hari sebelumnya, kini aku mencicipi dua potong Chappatti yang dibanderol seharga 100 Baisa.

Tak perlu waktu lama untuk bersarapan. Aku pun segera beranjak menuju selatan, menelusuri jalanan di sisi kanan hotel tempatku menginap. Maka dalam jarak tempuh setengah kilometer, maka aku mulai merapat di An Nuzhah Street.

An Nuzhah Street adalah jalan raya yang memiliki lebar tak kurang dari lima puluh meter, sedangkan di bagian tengahnya tampak membentang wadi (jalur air yang biasanya hanya dilewati air pada musim penghujan). Wadi itu telah di beton memanjang menyesuaikan kontur jalan.

Aku terus melangkah ke selatan hingga kemudian berhenti di sebuah gerbang besar berwarna cokelat.

“Muntazah Al Wadii Al Kabiir”, aksara Arab itu dengan jelas kubaca.

Taman Al Wadi Al Kabiir”, aku bergumam mengartikan aksara itu.

Seketika aku sangat berniat memasukinya.

Membaca dua belas larangan utama ketika beraktivitas di dalam taman, aku mencoba mengingat beberapa aturan taman yang jarang kutemukan di taman-taman lain, beberapa peraturan yang tertera di papan berbahan besi itu adalah larangan menghisap shisha, membawa sepeda dan kendaraan, memetik bunga, dan melakukan aktivitas barbeque.

Begitu memasukinya, aku mencoba mengamati taman dari ujung ke ujung, membayangkan bentuk aslinya. Sekilas taman itu berbentuk heksagon, seperti layang-layang dan memiliki luasan berkisar empat hektar.

An Nuzhah Street.
Layout taman.
Taman yang artistik.
Kids Playground.
Mau naik kuda?

Taman itu tampak indah karena tepat berada di kaki perbukitan berbatu. Nuansa komersial juga tampak menyelimuti taman, karena di beberapa titik strategisnya, terpasang beberapa papan iklan yang menjadi bagian bisnis dari JCDecaux.

JCDecaux sendiri adalah perusahaan periklanan multinasional terbesar di dunia yang berbasis di Neauilly-sur-Seine, Prancis.

Taman ini terasa istimewa dengan keberadaan kedai kopi di pusatnya dan tersedianya kids playground di sisi lainnya. Sementara itu, pohon palem tetap menjadi vegetasi utama di dalamnya seperti kekhasan taman-taman di seluruh negara di Kawasan Timur Tengah.

Dan kunjungan di Al Wadi Al Kabeer Park kuakhiri dengan dengan menikmati pemandangan unik dengan keberadaan seekor kuda yang rupanya menjadi properti taman. Rupanya kuda tersebut menjadi daya tarik bagi penduduk lokal untuk mengunjungi taman tersebut.

Baru kali ini aku melihat taman ada kudanya….Wkwkwkwk.

Kisah Selanjutnya—->