Taksi Hitam dari Toba ke Pematang Siantar

<—-Kisah Sebelumnya

Aku memasuki kamar Eloise untuk mengambil backpack  yang kutitip sejak pagi. Aku check out di pagi hari dan berlanjut mengeksplorasi Samosir seharian bersamanya. Aku berpamitan padanya dan bersiap menuju Pematang Siantar, sedangkan dia masih semalam lagi di Samosir.

Staff Bagus Bay Homestay mengarahkanku untuk menunggu ferry di pelabuhan terdekat. Berbelok ke kiri setelah keluar hotel, beberapa puluh meter kemudian, aku memasuki gang di kiri jalan. Tetap melangkah hingga tiba di sebuah warung, tepat di sisi pelabuhan.

Tigaraja Bang?, tunggu setengah jam ya!”, ucap seorang timer padaku. Setengah jam yang lebih dari cukup untuk menyantap semangkuk mie instan bertopping telur mata sapi seharga Rp. 15.000 di pojok warung.

Ferry terlihat merapat dan sang timer diam menunjuk mukaku, lalu telunjuknya bergeser menunjuk ke arah ferry. Aku faham maksudnya.

Belum juga merapat sempurna, aku melompat ke ferry. Segenap penumpang di deck kiri berteriak. “Awasssss, Banngg!”. Aku melambaikan tangan bak artis. Ternyata kemampuanku bermain perahu motor di Waduk Jatiluhur saat menjadi sales ikan budidaya karamba masihlah mumpuni.

Zoe’s Paradise Hotel (putih) dan Dumasari Hotel (merah) menatapku pergi meninggalkan Samosir.
Menuju Pelabuhan Tigaraja dalam 50 menit.

Pria berjaket jeans biru pudar menatap lekat dari kejauhan ketika aku menuruni ferry. Tak ada jalan lain untuk menghindarinya. Seperti ditunggu seorang preman yang siap menerjangku.

Siantar, Bang. Empat puluh ribu?”, ujarnya sembari membayangi langkahku. “Oh, jasa taksi”, ujarku. Mengejar Bus INTRA yang akan berangkat jam tujuh malam, aku mengiyakan saja. Dan aku dibawa ke kantor Bagus Taxi.

Kebelet pipis tapi tak kebagian toilet, ada yang kelamaan mandi….Asem.
Sopir dan penumpang pun bermusuhan lewat adu bidak kayu.

Sepertinya akulah pengisi terakhir di manifest taksi. Begitu cepat, aku sudah duduk saja di sisi kanan bangku tengah.

Tepat di kiriku, seorang bapak yang gemar merokok sepanjang perjalanan.

Avanza hitam berputar-putar mengukur jalanan untuk menjemput penumpangnya satu persatu. Penjemputan diakhiri dengan satu insiden ketika seorang ibu ketinggalan dompet di kilometer kelima perjalanan kami. Hal menjengkelkan tetapi mampu membuatku tertawa kecil. Tak ada pilihan, taksi berputar balik untuk mengambil dompet si ibu.

Meninggalkan Toba, kebutan taksi memaksaku membuka pejaman mata. Aku diajaknya meliuk-liuk menikmati indahnya pemandangan alam Simalungun. Kebun sawit, hamparan ladang, perbukitan dan lembahnya dilewati satu-persatu. Sesekali si sopir menciptakan humor, salah satunya ketika panik memasang sabuk pengaman yang tak dikenakannya bebarengan dengan penumpang di sebelah, pontang-panting memasangnya, bahkan tak berhasil hingga melewati area operasi polisi….Beruntung tak ditangkap.

Dalam satu jam 20 menit, taksi mulai memasuki tepian kota,kemudian menuju pusat kota melalui Jalan Gereja dan Jalan Merdeka dengan dua tugu sebagai landmark kota.

Tugu Adipura. Siantar pernah 4 kali menyabet penghargaan lingkungan ini.
Monumen Wahana Tata Nugraha era Soeharto, penghargaan atas apiknya tata kelola transportasi.

Bang, begitu sampai Parluasan langsung ke pool aja, hati-hati ya!”, kata Bang Erwin (teman backpacker yang tak sengaja bertemu di diatas Bus HoHo KL 2013 silam). Mungkin dia mengkhawatirkanku memasuki Parluasan yang terkenal dengan premannya. Tapi aku menanggapinya dengan santai karena aku tahu akan diturunkan tepat di depan pool bus INTRA.

Sampai…..

Mari menunggu Bang Erwin menjemputku untuk berkeliling Pematang Siantar sejenak.

Kisah Selanjutnya—->

10 thoughts on “Taksi Hitam dari Toba ke Pematang Siantar

Leave a Reply to travelingpersecondCancel reply